#Lead for Good: It’s about mindset and choice
Mohamad Cholid, Certified Executive and Leadership Coach
“Menulis bagi saya merupakan upaya menunda kematian.” – Profesor Salim Said.
Pernyataan Salim Said tersebut diutarakan dalam salah satu percakapan di Institut Peradaban, lembaga yang didirikannya bersama Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi (2003-2006 dan 2006-2008) dan pendiri sekolah kepemimpinan politik dan hukum Jimly School of Law and Government (JSLG) di Jakarta. Institut Peradaban sekarang dipimpin Dr. Dipo Alam, aktivis mahasiswa yang kemudian menjabat Sekretaris Kabinet masa SBY.
Sebagai political scientist terpercaya di Kawasan ASEAN, Salim Said, wafat Mei 2024 dalam usia 80 tahun, sudah melahirkan sejumlah buku. Di antaranya Militer Indonesia dan Politik; Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi; Dari Gestapu ke Reformasi, Serangkaian Kesaksian; Genesis of Power; Legitimizing Military Rule. Salim Said telah berkontribusi signifikan untuk peradaban.
Apakah kita punya peluang negosiasi dengan Tuhan, agar kematian bisa di-reschedule seperti menjadwal ulang meeting?
Salim Said, juga umumnya kita plus kalangan ulama atau rohaniawan lainnya, rasanya mustahil dapat memberikan konfirmasi. Jadwal kematian merupakan hak prerogratif Tuhan. Apa Sampeyan berani dan bisa intervensi minta diubah?
Pernyataan Bung Salim, panggilan akrabnya, “Menulis merupakan upaya menunda kematian,” dapat kita maknai sebagai satu contoh dari sejumlah cara lain yang terpuji dan berkeadaban dalam bersiasat menghadapi Waktu.
Pertanyaan mendasar yang digandrungi orang adalah “How to slow down time”. Bisa jadi ini ekspresi kalangan manusia yang setiap hari (membiarkan diri) diteror hiruk-pikuk “kerja”, yaitu orang-orang yang belum mampu memilah antara kesibukan dengan produktivitas, apalagi efektivitas.
Sebaliknya, how to slow down time sesungguhnya kegiatan harian segolongan lain yang sangat serius ingin selalu bisa menyikapi Waktu secara lebih cerdas.
Caranya? Bagaimana kita betindak dengan seksama, make big strides toward a life well-lived, memberikan kontribusi positif pada kemanusiaan dan peradaban, agar Waktu merangkul kita lebih ramah dan kematian, kapan pun saatnya tiba, bisa hadir sebagai sebuah keniscayaan yang indah.
Salim Said bisa jadi contoh tentang pentingnya kontribusi positif bagi masyarakat sebagai upaya menghadapi kematian secara elegan. Dalam kondisi ekonomi yang tidak berkelebihan sebagai mantan duta besar dan seorang political scientist, ia tetap mengajar, terus menulis, dan dengan enteng menghibahkan 10 ribu buku koleksi perpustakaan pribadinya ke Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya.
Bukankah umumnya kita ingin begitu? Supaya ajal tidak seperti mendadak menjemput kita menuju “Padang Perburuan Abadi”—istilah komunitas Indian dalam Winnetou, Dr. Karl May.