Menyambut Hari Kebangkitan Nasional ke-117
Oleh: Kodrat Pramudho (Staf Pengajar Universitas Indonesia Maju)
Jakarta, 20 Mei 2025
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei bukan sekadar agenda tahunan yang sarat seremoni. Ia merupakan momen historis untuk menghidupkan kembali semangat persatuan dan tekad membangun bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan yang kian kompleks.
Di tahun 2025 ini, peringatan Harkitnas yang ke-117 hadir dalam lanskap yang menarik, sekaligus mengundang refleksi kritis — utamanya dalam bidang kesehatan.
Jika semangat kebangkitan dahulu digaungkan oleh Boedi Oetomo sebagai fondasi perjuangan kolektif menuju kemerdekaan, maka hari ini ia relevan sebagai upaya menyatukan langkah dalam membenahi sistem kesehatan nasional. Akses yang belum merata, distribusi tenaga kesehatan yang timpang, hingga tuntutan pada inovasi dan layanan berbasis teknologi masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Retorika yang Menyakiti
Sayangnya, semangat kebangkitan itu seolah terciderai oleh pernyataan kontroversial Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS). Dalam sejumlah kesempatan publik, Menkes melontarkan komentar yang dinilai merendahkan profesi kesehatan. Kritik keras pun bermunculan.
Dari organisasi profesi hingga para tenaga kesehatan individu, banyak yang menilai pernyataan tersebut tidak hanya arogan, tapi juga memperlemah semangat kerja dan rasa hormat antarprofesi.
Tenaga kesehatan adalah aktor utama di garis depan pelayanan publik. Mereka bekerja dalam sistem yang belum ideal, namun tetap menjaga komitmen profesional. Ketika komentar seorang pejabat negara terdengar sinis, bukan hanya morale mereka yang terganggu, tapi juga kredibilitas institusi kesehatan yang turut dipertaruhkan.
Polarisasi yang Tak Perlu
Efek domino dari pernyataan Menkes tak berhenti pada respons emosional. Ia berpotensi menciptakan polarisasi, memperlebar jarak antara pemegang kebijakan dan pelaksana di lapangan. Lebih buruk lagi, jika publik mulai kehilangan kepercayaan pada profesi kesehatan akibat narasi yang dibangun dari atas, maka stabilitas sistem kesehatan pun akan terganggu.
Dalam semangat Hari Kebangkitan Nasional, situasi ini justru menunjukkan urgensi untuk merawat dialog dan memperbaiki komunikasi antara pemerintah dan profesi kesehatan. Apresiasi harus diberikan secara tulus, bukan sekadar dalam bentuk simbolik, tetapi juga dalam sikap dan narasi resmi negara.
Apa yang dibutuhkan saat ini bukan pembelaan sepihak atau klarifikasi normatif. Yang lebih penting adalah membangun ruang dialog yang jujur, terbuka, dan solutif antara Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi. Kritik yang muncul harus dibaca sebagai sinyal untuk perbaikan, bukan dimusuhi.
Kebijakan yang kuat hanya akan lahir dari ekosistem yang sehat — dan itu mensyaratkan relasi yang setara serta komunikasi yang menghargai.
Harkitnas Bukan Panggung Retorika
Harkitnas ke-117 menjadi cermin yang memantulkan wajah bangsa hari ini: apakah kita sungguh belajar dari sejarah untuk bersatu, atau justru mengulang polarisasi lewat retorika yang tak produktif.
Di tengah gempuran isu kesehatan yang tak kunjung reda — dari penyakit menular, kesehatan mental, hingga sistem jaminan yang terus diuji — narasi pemimpin harus meneduhkan, bukan menajamkan jurang.
Semangat kebangkitan bukan sekadar slogan. Ia menuntut kepekaan, penghargaan terhadap kontribusi setiap profesi, serta keberanian untuk mengoreksi diri. Dalam dunia yang cepat berubah, membangun kepercayaan adalah fondasi paling penting. Dan itu hanya bisa dimulai dari sikap saling menghormati. (*)