Di ISSEI 2025, Saleh Husin bicara industri baja tak sekadar soal ekspor dan hilirisasi, tapi tentang kedaulatan, narasi nasional, dan keteguhan ASEAN menghadapi dunia.
Di tengah panggung pameran baja terbesar se-Indonesia, Iron Steel Summit & Exhibition Indonesia (ISSEI) 2025, seorang tokoh yang lama dikenal publik sebagai birokrat industri muncul dengan pendapat yang menarik. Menurut Saleh Husin, mantan Menteri Perindustrian dan kini Komisaris Krakatau Steel, industri baja bukan hanya soal logam, tapi juga martabat bangsa. Dan, sangat relevan dengan topik yang disampaikan, “Meningkatkan Daya Saing Baja Indonesia di Pasar Global.”
Dalam paparannya, Saleh menyebut fakta yang kerap luput dari euforia hilirisasi. Meski industri baja Indonesia tumbuh, dan Indonesia tercatat sebagai eksportir baja dunia, tetapi masih tertinggal dari negara-negara lain dalam cakupan pasar regional ASEAN. Pada 2024, Indonesia memasok sekitar 1,80% kebutuhan impor besi dan baja dunia, dan menempatkan posisi di urutan 19, lebih rendah dari Thailand (12) dan Vietnam (14).
Dia juga memaparkan, mengutip data dari World Bank (2023), kondisi logistik Indonesia, berada di posisi 61 dari 138 negara dari segi kinerja logistik, lebih rendah dari beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam (43), Filipina (43), Malaysia (26), dan Singapura (1). “Faktor terpenting untuk meningkatkan LPI (Logistics Performance Index) adalah peningkatan kinerja sistem kepabeanan dan infrastruktur,” katanya.
Daya Saing Tak Cukup di Pabrik
Menurut Saleh, membangun daya saing baja Indonesia harus dimulai dari hal-hal mendasar: infrastruktur logistik, efisiensi energi, dan kejelasan regulasi. Tapi di luar itu, ada aspek yang lebih struktural—pemberdayaan SDM dan pembentukan rantai nilai yang kuat dari hulu ke hilir.
Ia menyoroti pentingnya penguatan klaster industri: Cilegon–Serang–Bojonegara, sebagai simpul industri baja barat, Morowali–Bahodopi, sebagai kawasan integrasi nikel-baja di timur, serta penguatan pusat konsumsi seperti Batam, Semarang, dan Makassar.
Tak kalah penting, ia mendorong percepatan penerapan Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) secara tegas—tidak hanya di proyek pemerintah, tetapi juga di BUMN dan swasta besar.
Pada 2024, menurut data LKPP (2025), terdapat potensi utilisasi PDN pada pengadaan pemerintah sebesar Rp857,79 T, tetapi yang terlaksana hanya Rp561,66 T. Jumlah PDN yang tayang di e- katalog mencapai 1.083.057 produk (87,99%), tetapi dari jumlah tersebut yang bersertifikat TKDN hanya 143.383 (13,24%).