Oleh: Rioberto Sidauruk
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (DPP HAPI)
“Let’s kill all the lawyers!” — kutipan dari drama Henry VI, Part 2 karya Shakespeare ini sering disalahartikan sebagai kebencian terhadap pengacara. Padahal, maknanya justru sebaliknya: sindiran cerdas yang menunjukkan betapa pentingnya keberadaan advokat. Tanpa mereka, hukum lumpuh dan keadilan lenyap.
Ya, advokat adalah benteng terakhir rakyat dalam mencari keadilan. Tanpa mereka, tidak ada kontrol terhadap penyimpangan kekuasaan. Maka, dalam konteks pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), penguatan peran dan perlindungan bagi advokat bukan sekadar pilihan — melainkan kebutuhan mendesak.
Advokat Sering Dianggap Sebelah Mata
Di tengah sistem hukum Indonesia yang kompleks, peran advokat tak tergantikan. Namun ironisnya, mereka masih kerap dipandang sebelah mata. Padahal, advokat adalah mitra sejajar dalam sistem peradilan, bukan pelengkap penderita.
RUU KUHAP seharusnya menjadi momentum emas untuk menegaskan posisi advokat. Negara harus memastikan bahwa advokat memiliki hak yang sama, perlindungan yang jelas, dan posisi yang setara dengan aparat penegak hukum lainnya. Tanpa itu, jangan harap kita bisa membangun peradilan yang benar-benar adil.
Imunitas: Bukan Privilege, Tapi Keharusan
Advokat bekerja di garis depan, sering kali menghadapi risiko besar saat membela klien, termasuk tekanan dan ancaman kriminalisasi. Karena itulah, hak imunitas bukanlah keistimewaan, melainkan jaminan agar mereka bisa menjalankan tugas secara profesional dan tanpa rasa takut.
RUU KUHAP harus menjamin perlindungan hukum bagi advokat. Termasuk sanksi pidana bagi siapa pun yang mengancam, mengintimidasi, atau melakukan kekerasan terhadap advokat saat menjalankan tugasnya. Kalau para penjaga keadilan saja tidak dilindungi, bagaimana kita bisa berharap keadilan ditegakkan?
Mediator, Penjaga Etika, dan Penggerak Restorative Justice
Profesi advokat tak sebatas membela di pengadilan. Di era restorative justice, advokat berperan penting sebagai mediator—mendorong penyelesaian damai, rekonsiliasi, dan pemulihan. RUU KUHAP harus mengakomodasi peran strategis ini, agar hukum tak sekadar menghukum, tapi juga memulihkan.
Tak kalah penting, advokat bekerja berdasarkan kode etik yang ketat. Penilaian atas pelanggaran etika harus menjadi ranah Dewan Kehormatan Advokat Nasional, bukan aparat hukum pidana. Ini prinsip fundamental dalam menjamin independensi profesi.
Dari “Kill” Menjadi “Respect”
Kita harus berhenti memandang advokat sebagai penghalang hukum atau pembela penjahat. Sebaliknya, advokat adalah penjaga keadilan dan pilar demokrasi.