Oleh: Rioberto Sidauruk – Pemerhati Ekonomi Kerakyatan
Setiap 10 Juni, kita memperingati Hari Kewirausahaan Nasional. Tapi peringatan ini, sejatinya, lebih dari sekadar seremoni. Ia adalah pengingat bahwa semangat berwirausaha bukan hanya soal mencari untung, tapi juga tentang membangun fondasi ekonomi yang kokoh dari bawah—ekonomi yang berpihak pada rakyat.
Namun di balik gegap gempita perayaan, tersimpan sebuah ironi. Data menunjukkan, rasio kewirausahaan Indonesia masih berkutat di angka 3,47 hingga 3,57 persen. Angka ini jauh tertinggal dibanding negara tetangga seperti Singapura yang menembus 8,76 persen, atau bahkan standar negara maju yang berada di kisaran 10 hingga 12 persen.
Lalu di mana letak persoalannya? Jawabannya tak bisa disederhanakan. Tantangan wirausaha di Indonesia tidak datang dari satu pintu. Ia seperti labirin—penuh liku, berlapis-lapis. Terutama bagi pelaku UMKM, yang kerap tersandung berbagai kendala struktural: mulai dari birokrasi yang ribet, akses modal yang seret, hingga ketimpangan informasi dan teknologi.
Baca juga: Strategi Cari Cuan di Internet
Padahal, kita punya teladan. Almarhum Ciputra, salah satu pionir entrepreneurship di tanah air, pernah berkata: “Jadilah orang yang mampu mengubah rongsokan menjadi emas.” Sebuah ajaran sederhana, namun sarat makna. Inti dari semangat wirausaha adalah kemampuan melihat peluang di tengah keterbatasan—menciptakan nilai dari sesuatu yang dianggap tak bernilai.
Tapi, bagaimana menerjemahkan filosofi itu dalam konteks keindonesiaan hari ini?
Kuncinya ada pada ekosistem. Membangun iklim yang mendukung pertumbuhan wirausaha berarti merombak hambatan-hambatan lama yang selama ini membelenggu. Bukan hanya soal regulasi dan perizinan, tapi juga bagaimana menumbuhkan pola pikir masyarakat. Di negeri ini, profesi karyawan masih dianggap lebih “aman” ketimbang menjadi pengusaha. Padahal, di tengah dunia yang terus berubah, justru keberanian berwirausaha bisa menjadi jalan menuju kemandirian dan ketangguhan ekonomi.
Teknologi semestinya jadi katalis. Di era digital ini, peluang terbuka lebar. E-commerce, media sosial, dan aplikasi bisnis memberi pelaku usaha jalan pintas menuju pasar yang lebih luas. Namun digitalisasi bukan solusi instan. Literasi digital, kemampuan mengolah data, hingga strategi pemasaran berbasis online, menjadi bekal penting untuk bersaing di medan yang semakin kompetitif.
Di sisi lain, negara tak boleh lepas tangan. Peran pemerintah tetap vital—mulai dari penyusunan kebijakan yang ramah usaha, program pembiayaan yang inklusif, sampai pendidikan dan pelatihan yang konkret. Jangan hanya teori, tapi juga praktik. Jangan hanya seminar, tapi juga pendampingan. Jangan hanya proyek, tapi juga keberlanjutan.
Meningkatkan rasio wirausaha bukan sekadar soal angka. Ini soal membangun masa depan. Masa depan yang lebih mandiri, merata, dan manusiawi. Sebab di tangan para wirausahawanlah, ekonomi kerakyatan bisa menjadi kenyataan—bukan lagi sekadar slogan dalam pidato atau poster kampanye.
Hari Kewirausahaan Nasional sepatutnya menjadi alarm: bahwa sudah waktunya kita beranjak dari retorika ke kerja nyata. Menumbuhkan semangat berwirausaha berarti membuka lapangan kerja baru, menciptakan kesejahteraan dari bawah, dan menjadikan rakyat bukan hanya sebagai objek pembangunan—melainkan pelaku utama ekonomi bangsa. (*)