Senin, Juni 23, 2025

Pariwisata dalam Turbulensi Geopolitik

Must read

Oleh Rioberto Sidauruk

Industri pariwisata sedang berlayar di lautan bergelombang. Bukan sekadar badai musiman, tetapi pusaran ketidakpastian yang disebut dunia sebagai VUCA: Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity. Sebuah istilah yang pas untuk menggambarkan dunia yang terus bergejolak, tak pasti, rumit, dan membingungkan.

Di tengah turbulensi politik global, sektor pariwisata—baik di Indonesia maupun kawasan ASEAN—terpaksa belajar menari di atas ombak. Tak cukup hanya respons jangka pendek. Perlu strategi panjang, lincah, dan berbasis data.

Ketidakstabilan geopolitik, dari perang bersenjata hingga ketegangan diplomatik, punya daya rusak langsung terhadap pariwisata. Harga energi melambung karena konflik, menekan ongkos maskapai dan hotel. Biaya operasional pun membubung—dan konsumenlah yang akhirnya menanggung.

Indonesia, seperti negara ASEAN lain, sangat bergantung pada pasar wisatawan Tiongkok. Sedikit perubahan dalam kebijakan dalam negeri Beijing atau perlambatan ekonomi di sana, cukup membuat grafik kunjungan anjlok. Perencanaan jangka panjang pun menjadi mimpi. Industri mesti adaptif. Pemerintah dituntut gesit.

Ketidakpastian juga tumbuh dari persepsi wisatawan. Konflik yang tak jelas ujungnya, kabar simpang siur soal keamanan, membuat orang menunda bahkan membatalkan perjalanan. Di ASEAN, dinamika di Laut Cina Selatan menjadi bayangan lain yang menghantui. Investor pun ogah mengambil risiko. Pembangunan infrastruktur dan inovasi pariwisata tersendat.

Geopolitik tak berdiri sendiri. Ia saling bersinggungan dengan inflasi global, perubahan iklim, hingga dampak pandemi yang belum sepenuhnya tuntas. Satu titik konflik bisa menggelinding jadi efek domino. Pariwisata pun masuk dalam jaring laba-laba geopolitik.

Baca juga: Ponsel jadi Mesin Uang? Yes, Jelajah Internet dan Hasilkan Cuan

ASEAN menghadapi tantangan tambahan: koordinasi kebijakan lintas negara. Meski ada semangat integrasi regional, perbedaan regulasi visa, standar keamanan, dan respons krisis justru memperlambat pemulihan. Indonesia sendiri sedang mendorong diversifikasi pasar—pekerjaan besar yang butuh koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah.

Ketika Fakta dan Narasi Bertabrakan

Ambiguitas jadi tantangan tersendiri. Di era banjir informasi—dan disinformasi—fakta dan rumor kerap sulit dibedakan. Persepsi publik tentang suatu destinasi bisa berubah hanya karena satu unggahan viral.

Minimnya preseden untuk krisis geopolitik modern juga membuat banyak pelaku pariwisata kehilangan pegangan. Tanpa narasi yang konsisten dan kredibel, upaya pemasaran gampang kandas. Maka, membangun reputasi destinasi lewat komunikasi strategis menjadi mutlak.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article