Oleh: Rioberto Sidauruk – Pemerhati Ekonomi Lingkungan dan Pariwisata / Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI
Raja Ampat, surga bawah laut yang termasyhur di mata dunia, kini berada di persimpangan jalan yang krusial. Keputusan pemerintah pada 10 Juni 2025 yang mencabut izin empat tambang nikel namun mempertahankan satu, kembali membangkitkan perdebatan mendasar: mempertahankan pariwisata berkelanjutan sebagai “emas hijau”, atau mengejar keuntungan jangka pendek dari tambang nikel.
Ini bukan sekadar persoalan rupiah. Ini adalah pertaruhan visi jangka panjang—soal masa depan, kesejahteraan rakyat, dan kelestarian alam yang tak tergantikan.
Hilirisasi nikel kerap dibanggakan sebagai motor pertumbuhan ekonomi. Nilai ekspor nikel olahan melonjak dari 4 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 34 miliar dolar AS pada 2022—naik 750%. Namun di balik gemerlap angka ini, terdapat paradoks. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari royalti tambang justru diragukan efektivitasnya.
Ditambah lagi insentif fiskal besar-besaran seperti tax holiday hingga 25 tahun, pembebasan PPN, dan bebas bea ekspor untuk produk setengah jadi, negara justru kehilangan potensi pendapatan dari bea ekspor bijih nikel yang dulu pernah dinikmati.
Surga yang Terancam Limbah
Kontroversi tambang nikel di Raja Ampat—terutama di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran—bukan hal baru. Ini adalah akumulasi masalah lingkungan, hukum, dan tata kelola yang kian mengkhawatirkan. Aktivitas pertambangan ditengarai telah merusak lebih dari 500 hektare hutan alami, menyebabkan sedimentasi yang mengancam terumbu karang. Limbah tambang juga berisiko mencemari laut dengan logam berat seperti nikel—secara ilmiah lebih toksik dibanding tembaga bagi ekosistem laut.
Baca juga: Startup di Indonesia 2025, Masihkah Menarik? Ini Peluang dan Tantangannya.
Pelanggaran hukum turut memperparah situasi. Kementerian LHK mencatat empat perusahaan—PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Melia Raymond Perkasa, dan PT Nurham—melanggar UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. PT MRP bahkan diketahui beroperasi tanpa dokumen lingkungan.
Kondisi ini diperkeruh oleh konflik antar-kementerian. KLHK mencatat bukti pencemaran, tetapi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan “tidak ada masalah” berdasarkan inspeksi visual di Pulau Gag. Perbedaan pandangan ini memunculkan skeptisisme publik, diperkuat oleh gelombang protes masyarakat dan aktivis melalui tagar #SaveRajaAmpat.

Izin yang Tetap Kontroversial
Keputusan pemerintah pada 10 Juni 2025 memadukan ketegasan dan kompromi. Dalam rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto, Kementerian ESDM mencabut izin empat perusahaan berdasarkan pelanggaran lingkungan, tumpang tindih dengan kawasan konservasi, serta masukan dari pemerintah daerah dan tokoh masyarakat.