Di Indonesia, wine masih sering dibungkus oleh persepsi: terlalu Barat, terlalu mahal, terlalu rumit. Tapi di tangan Burhan Abe, jurnalis gaya hidup dan ekonomi yang telah malang-melintang di dunia liputan kuliner dan hospitality, segelas wine berubah menjadi medium cerita yang personal sekaligus reflektif. Buku Wine Not? bukan hanya kumpulan catatan tentang wine—ia adalah dokumentasi kultural tentang bagaimana anggur perlahan masuk ke lanskap gaya hidup urban Indonesia.
Buku ini tidak berpretensi menjadi panduan teknis enologi. Burhan mengajak pembaca menyelami dunia wine dari mata seorang wartawan yang mulai mengenal anggur bukan dari meja makan bangsawan, melainkan dari tugas-tugas peliputan: festival wine, event F&B, komunitas kecil, bahkan diplomasi kuliner di Madrid.
Melalui narasi yang cair, pembaca diajak mengikuti berbagai peristiwa penting seperti Wine for Asia di Singapura, Wine & Cheese Festival di Jakarta, serta munculnya produsen lokal seperti Hatten dan Sababay. Jaringan komunitas wine seperti “Sayang Bordeaux” dan para tokoh yang ia kenal—mulai dari William Wongso hingga edukator wine perempuan asal Bali, Ni Nyoman Kertawidyawati—memperkaya dimensi buku ini, menghadirkan spektrum pengalaman dari yang teknis hingga filosofis.

Dalam salah satu bagian menarik, Abe mengangkat pernyataan Dave Graciano, sommelier yang kini menjadi konsultan F&B, bahwa “wine bisa cocok dengan rendang.” Sebuah pernyataan yang dulu mungkin dianggap kontroversial, kini menjadi simbol inklusivitas rasa dan kultur.
Dengan struktur yang rapi, gaya bertutur yang jernih, dan sensitivitas terhadap pergeseran selera masyarakat urban, Wine Not? berhasil menempatkan wine bukan sebagai simbol kelas, melainkan bagian dari dialog budaya dan pengalaman.
Dapatkan bukunya di SINI ya.
Bagi mereka yang ingin mengenal wine tanpa merasa tertinggal, atau sekadar ingin mencicipi satu bab kecil dari pergeseran gaya hidup Indonesia modern, buku ini adalah pintu masuk yang bersahaja—namun penuh cita rasa. (*)