Rabu, Juli 9, 2025

Jangan Hanya Bicara, Saatnya Merawat Ketahanan Bangsa

Must read

Oleh Dr. Kodrat Pramudho, SKM, M.Kes
Staf Pengajar Universitas Indonesia Maju, Jakarta

Di tengah arus deras perubahan global — krisis iklim, pandemi, hingga disrupsi digital — ketahanan sebuah bangsa tak bisa hanya bertumpu pada kekuatan militer atau pertumbuhan ekonomi semata. Ketahanan sejati dibangun dari fondasi yang lebih dalam dan luas: ketahanan sosial, kesehatan, bangsa, dan nasional. Empat pilar yang saling menopang dan tidak dapat berdiri sendiri.

Masalah kita bukan hanya datang dari luar. Justru, apatisme, individualisme, dan ketidakpedulian sosial menjadi ancaman laten yang perlahan merongrong fondasi bangsa. Kita terlalu sering menunggu pemerintah bertindak, alih-alih memulai dari ruang-ruang kecil di sekitar kita — dari keluarga, komunitas, hingga cara kita memandang sesama.

Pilar Pertama: Ketahanan Sosial yang Mulai Retak

Budaya gotong royong, nilai kekeluargaan, dan toleransi antarkelompok selama ini menjadi kekuatan sosial Indonesia. Namun, kini budaya itu menghadapi tekanan. Individualisme tumbuh subur di tengah gaya hidup urban dan polarisasi sosial-politik makin mengemuka. Interaksi sosial yang dulu hangat dan inklusif, kini bergeser ke ruang digital yang tak selalu sehat bagi keberagaman.

Ketahanan sosial bukan sekadar rukun bertetangga, melainkan partisipasi aktif dalam membangun komunitas, melibatkan kelompok rentan, dan memperkuat kepercayaan antarinstitusi. Tanpa solidaritas sosial, bangsa ini mudah rapuh di tengah krisis.

Pilar Kedua: Kesehatan sebagai Investasi Bangsa

Pandemi COVID-19 membuka mata: sistem kesehatan nasional kita masih jauh dari tangguh. Ketimpangan distribusi tenaga medis, kekurangan dokter spesialis di ratusan kabupaten/kota, hingga rendahnya literasi kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah.

Sementara penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi dan diabetes meningkat pesat, masalah kesehatan menular seperti tuberkulosis justru belum teratasi. Beban ganda ini diperparah dengan belum meratanya layanan kesehatan dasar. Hanya sekitar 60% desa memiliki Pustu atau Poskesdes aktif.

Baca juga: Startup, Jalan Panjang dari Nol Menuju Sukses

Kini, tantangan makin besar. UU Kesehatan yang baru (UU No. 17 Tahun 2023) menghapus mandatory spending 10% APBD untuk kesehatan, membuka celah bagi melemahnya prioritas anggaran di daerah-daerah. Tanpa instrumen pengawasan dan standar pelayanan minimum yang ketat, ketahanan kesehatan bisa runtuh dari pinggiran.

Ketahanan kesehatan bukan sekadar infrastruktur, tapi juga soal keberpihakan, keadilan layanan, dan kesadaran kolektif akan pentingnya pencegahan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article