Rabu, Juli 9, 2025

Konten Keislaman di Tengah Gelombang Digital

Must read

Literasi Islam Wasathiyah Jadi Bintang Penunjuk Arah

Oleh: KH. Masduki Baidlowi, Ketua Dewan Pimpinan MUI Bidang Informasi dan Komunikasi

Di tengah arus digitalisasi yang kian deras, cara umat Islam Indonesia memahami dan mengakses ajaran agamanya mengalami transformasi besar. Kini, belajar agama tak lagi hanya melalui pengajian di masjid atau majelis taklim, tetapi juga melalui layar ponsel. Fenomena ini membawa peluang besar, sekaligus risiko serius.

Data hasil Survei PPIM UIN Jakarta 2017 menunjukkan bahwa hampir 51% pelajar dan mahasiswa di Indonesia mencari pengetahuan agama melalui internet dan media sosial — angka yang mengungguli referensi dari buku cetak.

Tren ini makin menguat seiring penetrasi internet yang pada awal 2024 telah menjangkau hampir 80% populasi. “Ustaz Google”, video TikTok bertema dakwah, dan aplikasi tafsir digital kini menjadi rujukan utama bagi generasi muda Muslim.

Bacaan Menarik: Membangun Mesin Uang di Era AI 

Digitalisasi membuka ruang baru yang revolusioner. Dakwah dapat menembus batas geografis dan waktu. Ceramah ulama besar bisa dinikmati dari desa terpencil di Indonesia Timur. Anak muda bisa belajar hadits atau fikih melalui podcast, infografis, atau sesi tanya-jawab daring. Ini era baru: ruang maya telah menjadi mimbar, dan algoritma menjadi penjaga pintunya.

Namun, transformasi ini juga memunculkan ironi. Di balik kemudahan, tersimpan ancaman serius: radikalisme dan disinformasi keagamaan tumbuh subur di ruang digital.

Riset PPIM UIN Jakarta 2017 mencatat dominasi narasi konservatif dalam media sosial keagamaan, mencapai 67%, jauh meninggalkan narasi moderat yang hanya 22%. Pesan Islam yang ramah dan sejuk sering kali tenggelam di tengah gemuruh konten sensasional dan ekstrem.

Lebih parah lagi, algoritma media sosial mendorong konten yang memicu keterlibatan emosional, bukan edukasi. Akibatnya, pesan-pesan moderat sering luput dari perhatian.

Situasi ini diperparah dengan kehadiran “ustaz instan” — tokoh agama populer yang tidak memiliki latar belakang keilmuan yang mumpuni. Banyak dari mereka menyampaikan tafsir agama tanpa sanad, melahirkan pemahaman sempit dan bahkan membenarkan kekerasan atas nama agama.

Tak sedikit pula konten digital yang menyebarkan hadits palsu, hoaks, atau teori konspirasi dengan balutan agama. Bagi masyarakat yang belum memiliki literasi digital yang memadai, semua informasi tersebut dianggap benar. Pemerintah sendiri mengakui telah memblokir hampir 181 ribu konten ekstremisme dan intoleransi sepanjang 2024 — angka yang mencemaskan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article