Oleh: Rioberto Sidauruk – Pemerhati Sejarah
Bangsa ini sedang melangkah di tepi jurang. Bukan karena krisis ekonomi atau politik semata, melainkan karena kita perlahan membunuh para penjaga ingatannya sendiri: para sejarawan.
Proyek penulisan ulang sejarah—yang seharusnya menjadi ikhtiar mulia untuk memulihkan narasi yang hilang, mengangkat suara korban, dan mengoreksi bias masa lalu—justru dikoyak oleh kecurigaan publik. Yang diperdebatkan bukan lagi kebenaran fakta, melainkan hakikat keahlian itu sendiri. Kita terjebak dalam epidemi global: “The Death of Expertise”, di mana otoritas ilmu pengetahuan diinjak-injak oleh kesombongan kolektif.
Ilusi Kesetaraan: Ketika Google Disejajarkan dengan Riset Puluhan Tahun
Tom Nichols, dalam bukunya The Death of Expertise, membongkar racun zaman ini: demokratisasi informasi yang kebablasan telah melahirkan generasi yang menganggap diri “pakar” hanya karena membaca satu artikel di internet. Media sosial mengukuhkan ilusi itu—setiap celoteh, sekadar dangkal, dianggap setara dengan penelitian bertahun-tahun.
Padahal, rekonstruksi sejarah bukan kerja copy-paste. Ia membutuhkan:
- Penggalian arsip kolonial di Den Haag atau Leiden.
- Verifikasi kesaksian pelaku sejarah yang nyaris punah.
- Dekonstruksi mitos politik Orde Baru yang telah membatu.
Menganggap ini “sekadar menulis buku” adalah penghinaan terhadap disiplin ilmu yang memerlukan dedikasi seumur hidup.
Dunning-Kruger Effect: Ketika Ketidaktahuan Menjadi Kepercayaan Diri
Fenomena paling berbahaya, menurut Nichols, adalah ketika ketidaktahuan justru melahirkan kepercayaan diri palsu. Lihatlah komentar-komentar di jagat maya:
“Ah, sejarawan cuma korup! Saya bisa teliti sendiri lewat YouTube.”
“Mereka cuma proyek fiktif Rp 9 miliar!”
Baca juga: Pengen Bangun Startup? Mulai dari 3 Buku Praktis Ini Dulu
Ini bukan kritik, melainkan pembunuhan karakter terhadap peradaban. Gelar profesor sejarah disamakan dengan influencer yang bermodal keberanian membacakan Wikipedia. Ironisnya, mereka yang paling tidak tahu justru paling lantang bersuara.
Politisasi Sejarah: Kuburan Massal Fakta
Ketika politik mengintervensi keahlian, yang pertama mati adalah fakta. Sejarah Indonesia terjepit di dua kutub ekstrem:
- Kaum konservatif berteriak: “Jangan sentuh pahlawan kami!”—seolah sejarah adalah patung beku yang tak boleh dikritik.
- Kaum progresif menuntut: “Bongkar semua sampai ke akar!”—tanpa memahami kompleksitas metodologi penelitian.
Para sejarawan berintegritas terjebak:
- Dituduh “pengkhianat bangsa” jika tak membenarkan mitos usang.
- Dicap “agen asing” jika mengungkap fakta kelam.
Padahal, tugas mereka hanya satu: meneliti, bukan menciptakan dogma.