Oleh: Rioberto Sidauruk – Dosen Hukum Acara Mahkamah Konstitusi STIH Gunung Jati
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan daerah telah membuka babak baru dalam sistem pemilu Indonesia. Namun, di balik perubahan mekanisme ini, tersimpan ironi mendalam: bagaimana mungkin demokrasi bisa mencerminkan kehendak rakyat jika sebagian besar dari mereka masih terjerat dalam belenggu ketimpangan ekonomi?
Pemisahan pemilu ini mungkin menjanjikan efisiensi, tetapi tanpa fondasi kesejahteraan yang kokoh, kita hanya akan melahirkan demokrasi yang rapuh dan rentan terhadap praktik politik uang yang tak pernah usai.
Bayangkan, jutaan suara rakyat dipertaruhkan bukan karena keyakinan, melainkan karena godaan materi. Ini bukan sekadar persoalan teknis pemilu, ini adalah persoalan moral yang menggerogoti esensi demokrasi kita. Karena itu, memastikan setiap warga negara memiliki kemandirian ekonomi adalah sebuah keharusan.
Bacaan Menarik: Kopi 4.0, Ketika Bisnis, Budaya, dan Gaya Hidup Berkolaborasi
Hal ini memungkinkan mereka membuat keputusan politik rasional, bebas dari jerat transaksi murahan yang merusak martabat demokrasi itu sendiri.
Politik Uang
Tragisnya, demokrasi Indonesia masih dihantui momok politik transaksional, di mana suara pemilih, yang seharusnya menjadi cerminan nurani, justru diperdagangkan layaknya komoditas murah.
Ini bukan lagi rahasia, melainkan luka menganga dalam tubuh demokrasi kita. Dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, banyak warga yang terpaksa memilih antara prinsip dan perut.
Mereka dihadapkan pada pilihan pahit: menerima tawaran sesaat atau tetap setia pada janji-janji kosong. Kondisi ini menciptakan sistem yang transaksional, di mana kedaulatan rakyat bukan lagi milik mereka, melainkan ditentukan oleh tebalnya pundi-pundi para calon.
Politik uang adalah penyalahgunaan hakiki demokrasi. Ia mengubah suara suci menjadi alat tawar-menawar, memperburuk ketimpangan sosial, dan memastikan hanya mereka yang berkuasa secara finansial yang dapat benar-benar mengakses arena demokrasi. Ini adalah sistem yang jauh dari cita-cita “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”