Rabu, Juli 9, 2025

Gak Cuma UI dan Cashback: Bank Digital Perlu Belajar Jadi Lebih Manusia

Must read

Aplikasi perbankan makin banyak. Warnanya lucu-lucu, fiturnya bikin nyaman, cashback-nya bikin senang. Tapi… kenapa ya, rasanya tetap dingin? Di layar terasa modern, tapi di hati tetap kosong. Ternyata, bukan kamu aja yang ngerasa gitu. Sebuah riset terbaru mengungkap bahwa bank digital—semaju apa pun teknologinya—bisa gagal total kalau lupa satu hal: membangun kedekatan dengan komunitas.

Penelitian lintas negara dari dosen LSPR Institute of Communication and Business Jakarta, Safaruddin Husada, Ulani Yunus dan Latifa Ramonita, membandingkan praktik digital banking di Jakarta dan Perth. Hasilnya? Bank digital di Perth lebih jago bikin orang merasa dianggap. Bukan karena aplikasinya lebih cepat, tapi karena mereka hadir di hidup orang secara sosial, bukan cuma finansial.

Bacaan Menarik: Kopi 4.0, Ketika Bisnis, Budaya, dan Gaya Hidup Berkolaborasi

“Di Indonesia, pendekatannya masih transaksional. Fokusnya ke akuisisi pengguna, bukan membangun hubungan,” kata Safaruddin. “Padahal, loyalitas itu lahir dari rasa terhubung.”

Manusia Gak Cari Diskon, Tapi Perasaan Terhubung

Kita memang hidup di zaman swipe, scan, dan satu sentuhan langsung lunas. Tapi kebutuhan dasar manusia gak pernah berubah: ingin didengar, dihargai, dan merasa jadi bagian dari sesuatu. Di sinilah bank digital Indonesia mulai kehilangan arah—karena terlalu fokus bikin fitur, sampai lupa bikin relasi.

Di Perth, bank digital ngajak komunitas lokal bikin program literasi finansial bareng. Mereka masuk ke sekolah, hadir di kegiatan sosial, bahkan mendukung komunitas queer dan minoritas untuk melek keuangan. Hasilnya? Mereka bukan sekadar dipakai, tapi dicintai.

Bayangin kalau di Indonesia, bank digital bukan cuma jual promo QRIS, tapi juga bantu komunitas lokal bikin platform simpan-pinjam arisan digital, atau ngajak petani dan pelaku UMKM diskusi bareng soal keuangan. Gak cuma ‘tech startup’, tapi jadi ‘teman hidup’.

Kamu Punya UI Keren, Tapi Apakah Kamu Punya Empati?

Safaruddin menekankan pentingnya komunikasi strategis—bukan cuma nge-push notifikasi “Yuk, isi saldo sekarang!”, tapi ngajak ngobrol. Bank digital perlu punya suara yang manusiawi: kadang serius, kadang hangat, kadang lucu, tapi selalu jujur. “Kalau semuanya pakai algoritma, lalu di mana tempatnya empati?” katanya.

Karena pada akhirnya, hubungan manusia dengan uang itu rumit. Dan yang kita butuhkan bukan bank yang ngerti coding doang, tapi yang ngerti perasaan.

Teknologi Boleh Maju, Tapi Jangan Lupa Ngopi Sama Warga

Penelitian ini jadi semacam tamparan manis buat industri keuangan digital di Indonesia. Dengan kekuatan budaya lokal, semangat gotong royong, dan struktur sosial yang kuat—bank digital bisa banget jadi gerakan sosial, bukan cuma bisnis keuangan.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article