Putusan PK tanpa dasar hukum kuat dianggap menurunkan martabat profesi advokat di tubuh KAI 2008
JAKARTA, 30 Oktober 2025 — Kode Etik Advokat sejatinya adalah jantung moral profesi hukum. Ia menjadi fondasi agar profesi ini tetap terhormat, mulia, dan ksatria. Namun di tubuh Kongres Advokat Indonesia (KAI) 2008), nilai-nilai itu kini diguncang oleh keputusan yang dianggap menggerus integritas organisasi.
Persoalan etika dan moralitas kembali menjadi pekerjaan rumah besar dunia hukum Indonesia. Profesi advokat, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, justru sering mencoreng nama sendiri. Salah satu contohnya adalah kasus Advokat Muhammad Anzar Latifansyah, S.H., yang telah dijatuhi sanksi Peringatan Keras oleh Majelis Kehormatan KAI 2008 melalui Putusan Nomor 03/MK/DPP KAI-2008/IX/2025 tertanggal 23 September 2025 karena pelanggaran kode etik berat.
Sebagai pelapor, Rudi Rusmadi menilai sanksi itu bukan sekadar teguran, melainkan upaya pembinaan agar advokat bersangkutan memperbaiki perilaku menyimpang. “Peringatan keras adalah bentuk pendidikan moral. Tujuannya agar advokat memperbaiki perilaku, menjaga integritas, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap KAI 2008,” ujar Rudi.
PK yang Tak Punya Dasar Hukum
Namun, hanya berselang satu bulan, putusan etik yang sudah final itu mendadak dibatalkan. Melalui Sidang Peninjauan Kembali (PK) oleh Majelis Kehormatan Ad Hoc KAI 2008 — Nomor 01/MKA-PK/DPP KAI-2008/X/2025 tertanggal 28 Oktober 2025 — advokat Anzar dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik.
Yang lebih mengherankan, PK itu dikabulkan dengan restu Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal KAI 2008, meskipun kode etik bersifat final dan mengikat sesuai norma profesi advokat.
“Landasan hukum PK itu tidak jelas. Pasal yang dipakai bukan pasal kode etik, tapi pasal keanggotaan organisasi dalam ART. Ini manipulasi logika hukum yang berbahaya,” tegas Rudi.
Pasal yang dimaksud adalah Pasal 11 ayat (3) huruf b dan c Anggaran Rumah Tangga (ART) KAI 2008, yang sebenarnya hanya mengatur pemberhentian atau pemecatan anggota oleh DPD, bukan mekanisme pembatalan putusan etik.
“Saya sudah bersurat ke Ketum dan Sekjen mempertanyakan dasar pembentukan Majelis PK Ad Hoc ini. Bila surat keputusan dibuat tanpa dasar hukum, maka seluruh produknya otomatis cacat,” ujarnya.

