Oleh Eddy Herwanto
Pada Selasa, 18 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kejatuhan signifikan hingga 7,1 persen ke level 6.046. Anjloknya IHSG ini bahkan memicu penghentian sementara perdagangan atau trading halt demi menenangkan volatilitas pasar. Kejatuhan ini tergolong anomali jika dibandingkan dengan bursa Asia lainnya yang justru mengalami penguatan, seperti Nikkei dan STI yang masing-masing naik lebih dari satu persen.
Salah satu faktor utama yang memicu kepanikan di pasar adalah meningkatnya ketidakpastian global. Kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat kembali membawa bayang-bayang perang dagang yang selama ini dianggap sudah mereda.
Trump kembali mengangkat isu proteksionisme, terutama terhadap mitra dagang utama AS seperti Tiongkok, Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko. Kekhawatiran akan dampak kebijakan ini terhadap perdagangan global menyebabkan investor asing mulai menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain itu, kondisi geopolitik yang memanas juga menambah tekanan pada pasar keuangan. Serangan Israel ke Jalur Gaza yang menewaskan lebih dari 120 orang meningkatkan eskalasi konflik dengan Hamas. Situasi ini membuat dolar AS semakin menguat sebagai aset safe haven, sementara aset berisiko seperti saham dan obligasi di negara berkembang mengalami tekanan jual.
Dari dalam negeri, kondisi makroekonomi Indonesia juga turut memperburuk sentimen investor. Pelemahan rupiah yang telah turun 0,6 persen sejak awal tahun semakin menekan kepercayaan pasar. Diperkirakan, nilai tukar bisa mencapai Rp16.900 per dolar AS sebelum akhir tahun jika tidak ada intervensi yang efektif.
Selain itu, meningkatnya credit default swap (CDS) Indonesia ke 76 basis poin serta pelebaran spread Surat Berharga Negara (SBN) hingga 255 basis poin dibandingkan dengan US Treasury 10 tahun menandakan meningkatnya risiko investasi di Indonesia.
Namun, faktor domestik yang paling berkontribusi terhadap kemerosotan IHSG adalah penjualan besar-besaran saham BUMN, terutama BMRI, BBRI, dan BBNI, yang masuk ke dalam Danantara. Saham-saham ini menjadi lokomotif kejatuhan IHSG setelah dilepas secara masif. Arus kas APBN 2025 yang mengalami defisit besar pada Februari semakin memperburuk kepercayaan investor terhadap stabilitas fiskal.
Sayangnya, keterbatasan regulasi menghalangi BUMN untuk melakukan buyback saham secara fleksibel guna menstabilkan harga di pasar. Proses buyback memerlukan persetujuan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sehingga tidak bisa dilakukan dengan cepat untuk menahan tekanan jual di pasar modal.
Di tengah ketidakpastian ini, Presiden Prabowo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani perlu mengambil langkah strategis dengan memberikan kejelasan mengenai kondisi ekonomi mikro dan makro Indonesia pada semester II 2025. Transparansi dari pemerintah dan otoritas keuangan akan menjadi sinyal penting bagi investor.
Selain itu, mempertimbangkan pergantian eksekutif Danantara yang memiliki potensi benturan kepentingan dapat menjadi solusi untuk meredam keresahan pasar. Jika tidak, capital outflow dari bursa saham dan surat utang pemerintah kemungkinan akan semakin deras, dan hedge fund manager akan terus menarik dananya dari Indonesia.