Sabtu, Desember 21, 2024

Historiografi mengapa klepon tidak islami

Must read

Oleh Sunardian Wirodono

Mengapa klepon tidak islami? Karena klepon itu enak. Nah, segala yang enak-enak itu, dalam bahasan Haji Rhoma Irama, “Kenapa semua yang enak-enak itu diharamkan? Kenapa semua yang asyik-asyik itu yang dilarang? Ah, ah, ah, ah, aaahhh,…” (Baca: Lagu Haram, Rhoma Irama, dinyanyikan Rhoma Irama bersama Rita Sugiarto, 1990), “itulah perangkap setan!”

Jelas kiranya di sini, sumber referensi atau kajian sejarahnya. Resume sementara; Klepon itu perangkap setan. Sementara sejarah Haji Rhoma Irama, bisa kita tinjau dari sisi nama pembawa bendera The Voice of Moslem itu. Semula memakai nama Oma Irama dari nama lahir Raden Irama. Namun setelah menyadari bukan perempuan, maunya diubah menjadi Opa Irama. Tapi dari sisi melodi, Opa Irama tidak enak didengar. Agar tetap mirip, ditambahlah ‘rh’, dan jadilah Rhoma.

RH sendiri singkatan dari Raden Haji. Karena selain ingin menunjukkan gelar Raden, Oma waktu itu juga sudah haji. Padal mestinya yang haji itu opa. Kalau oma? Hajah!

Namun, kalau cuma disebut Rhoma Irama, padal sudah naik haji, hal tersebut dirasa kurang meyakinkan. Di mana hajinya? Maka dalam berbagai konferensi pers, dan para wartawan nurut saja, kemudian muncullah Haji Rhoma Irama, atau lengkapnya Haji Raden Haji Oma Irama. Gelar itu penting. Karena bagaimana bisa meyakinkan bahwa ini-itu haram atau halal, jika belum naik haji? Hajingan bukan?

Baiklah, dua paragraf di batas, melenceng dari kajian historis kita soal klepon. Maka menurut fatwa Tukul Arwana, kembali ke laptop. Klepon memang enak, karena ada unsur gula merah, yang asalnya dari kelapa. Bercampur pula rasa gurih dari taburan parutan kelapa. Mangsud parutan kelapa, ialah kelapa yang diparut. Jadi, yang ditabur di klepon bukan parutannya, tapi hasil dari parutan.

Coba taburkan parutan kelapa di atas klepon, pasti nggak enak. Karena parutan kelapa itu terbuat dari kayu dan besi yang diruncingin kecil-kecil kayak paku pines itu. Doyan? Emang jathilan?

Lagi pula, dengan bahan singkong (yang juga diparut), klepon ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan serius. Bagaimana cara memasukkan gula merah, ke dalam bunderan glindhing-glinding kayak bola itu, padal kulit bola klepon itu utuh.

Tidak ada bekas lubang, atau lecet sedikit pun? Masih tetap virgin. Itu pasti sihir, sebagaimana cara memasukan isian onde-onde? Belum pula gimana cara menata wijen dalam onde-onde itu? Anda tahu, mana yang lebih enak, onde-onde dengan jumlah wijen ganjil atau genap? Onde mande?

Dalam agama-agama apapun, apalagi agama yang mengatakan klepon tidak islami, sihir itu haram. Kalau tidak percaya, baca risalah Imam Syafe’I, dan imam-imam lainnya. Cuma di buku mana, sila cari sendiri. Udah mbaca gratisan, nyuruh ngutip-ngutip kitab. Jangan pula nanya halaman berapa, paragraf berapa. Baris ke berapa dari atas pun, saya tak tahu, apalagi baris dari bawah. Kalau nggak percaya, kafir!

Itu dari tinjauan memasukkan gula kelapa tadi. Persoalan lebih serius, klepon sering menimbulkan masalah. Jika tak hati-hati cara memangsanya, klepon ini bisa ngecrot seenak jidatnya. Anggap saja klepon punya jidat. Kalau ngecrot di dalam, mungkin akan terasa sensasinya. Meski pun ada risiko ngecrot di dalam bisa hamil. Hamil jika bukan oleh muhrim, haram bukan? 

Namun walaupun di luar, sama-sama ngecrot ini juga menimbulkan masalah. Kalau ngecrot-nya mengenai baju? Atau gaun, atau bahkan sampai ke bra dan celana dalam?

Dalam kajian coitus interuptus, ini sejenis cara mencegah kehamilan yang berisiko. Butuh perhitungan dan keterampilan tingkat dewa. Dan seterusnya. Kajian soal betapa haramnya klepon, bisa panjang dan lebar. Sementara panjang kali lebar, bisa menghasilkan luas. Walaupun luas itu artinya belum tentu dalam. 

Pertanyaan pentingnya, bagaimana agar klepon islami? Perlukah kita paksa membaca syahadat?

Tergantung pada pihak yang mengatakan. Sebenarnya, jika mereka kreatif, mungkin bisa menjadikan klepon tetap enak tapi halal. Misal, gula merah diganti kurma. Itu lebih mudah daripada ngajari gula-kelapa menjalankan syariat agama. Butuh kualitas otak dan kreativitas.

Karena tidak kreatif, makanya gampang nuding gitu, karena bisanya cuma gitu. Jalan termudah, mengkategorikan tidak islami, bahkan mungkin haram. Yang melanggar kafir. Terus cemplungin neraka jahanam. Makanya buah-buahan pun juga harus bersertifikasi halal.

Kalau kurma? Kecuali itu! Meskipun di-packing di Israel, kemudian diekspor ke China, sampai ke Tanah Abang, Jakarta, yang mengelola kalau nggak tauke aseng, ya, wan asong.

Lagi pula, berpikir kreatif model-model inkulturasi para pastor, dikira meniru katholikisasi. Tidak mau tahu bijimana sejarah ‘Wali Sanga’ begitu kreatif mempribumikan kurma, eh Islam ding, ke dalam gendhing atau tembang macapat. Bahkan ada pasar malam sekaten.

Itulah mengapa Islam Nusantara konsep yang tak disukai para pengritik klepon. Lebih-lebih ketika RUU-HIP menyinggung ‘berkeagamaan yang berkebudayaan’. Yang beragama dengan cara bar-bar, misal demo-demo bawa bendera hitam bertulis tauhid. Terus selesai demo, bendera tauhid dipakai alas duduk di trotoar sembari maem nasbung.

Mereka lebih memuliakan tukang sablon daripada Tuhan semesta alam. Tapi khusus mengenai paragraf ini, tak ada hubungannya dengan klepon. Apalagi klepon genggam.

Begitulah tinjauan historiografi klepon secara singkat. Pokokmen, klepon itu tidak islami, mangkanya haram. Meski kita tahu, haram biasanya asin. Padal klepon itu, kalau si gula merah ngecrot di dalam, lidah langsung kayak diantem rasa gimanahhh gitu. Bikin merem-melek. Termehek-mehek.

Dan program BKKBN bisa amburadul, karena pandemi coronavirus, secara nasional meningkatkan populasi ibu hamil. Gegara himbauan WFH, agar produktif di rumah ajah! Sekian dan terimakasih. 

Sumber: FB Sunardian Wirodono

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article