Kamis, Desember 19, 2024

Surat terbuka untuk Presiden Jokowi (1)

Must read

Oleh Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi

Bapak Presiden Joko Widodo yang terhormat,

“Turning Point” berupa pemihakan yang nyata kepada rakyat banyak, sebagaimana “niat ingsun” pendiri republik telah bapak tempuh. Di masa lalu biaya APBN untuk pendidikan hanya dinikmati keluarga kaya, kini semua anak-anak generasi penerus semua bisa sekolah. 

Hal yang sama juga dibidang kesehatan, dengan menyempurnakan kebijakan pemerintahan sebelumnya kini rakyat banyak tanpa kecuali bisa berobat ke rumah sakit, walupun tata pelayanan dan pengelolaan BPJS masih banyak yang harus disempurnakan. Dan begitu juga tentang pangan, berita busung lapar belakangan ini juga sudah tidak lagi terdengar. 

Sisa hutan yang belum dikuasasi konglomerat dan pemilik modal besar lainnya seluas 12,7juta hektare juga telah bapak bagikan kepada rakyat sebagai hutan sosial, walaupun dalam prakteknya banyak masyarakat penerima hak yang hingga kini belum bisa menggarapnya, bahkan harus “berhadapan” dengan pemegang kapital yang secara illegal menguasainya lebih dahulu.  

Begitu pula tentang kesenjangan wilayah, juga telah dipersempit dengan pembangunan infrastruktur yang merata di seluruh wilayah.

Sejumlah tata kelola sumber daya alam dan tata niaga cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak juga telah diubah dengan orientasi untuk kepentingan rakyat banyak. Pendek kata, kini rakyat dan daerah mulai merasakan manfaat keberadaan negara sebagai wadah bersama. 

Secara spektakuler mega korupsi dan sejumlah praktek mafia yang selama berpuluh tahun menyedot keuangan negara dalam jumlah besar juga dibongkar dan dihentikan. Dan masih banyak lagi kebijakan berbenah dan bersih-bersih akibat sampah dan juga kotoran bau busuk peninggalan sejumlah rezim terdahulu yang “kecret” di mana-mana.

Tapi di sisi lain, terkusus dalam upaya penegakan hukum dan perang melawan mafia yang terlanjur membelit rakyat banyak pada hampir semua lini kehidupan, tampak nyata sangat “kedodoran”. Yang pasti statement bapak menjelang pemilu yang kedua bahwa “di mana-mana mafia-mafia di mana-mana” sungguh benar adanya.

Dan yang sangat memprihatinkan belakangan ini justru makin menjadi-jadi. Kondisi tersebut otomatis membuat rendahnya jaminan dan kepastian hukum serta keamanan bagi segenap anak bangsa.

Jangankan bagi saudara-saudara kita yang berada di NTT dan apalagi yang dipedalaman Kalimantan, Papua serta dipulau-pulau terluar, sementara kasus pengelolaan apartemen warisan bapak saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, seperti yang terjadi di Apartemen Graha Cempaka Mas yang berjarak kurang dari 5 km dari Istana Negara hingga saat ini terus dibiarkan berlarut. 

Yang pasti negara tidak hadir saat rakyat berhadapan dengan kekuatan kapital. Dan masih banyak lagi bidang kehidupan yang belum ditangani pemerintah secara optimal sebagaimana yang bapak janjikan dalam kampanye pada 2 kali pemilu yang lalu. 

Maka wajar saja, kalau banyak pihak yang bisnis haram dan sumber penghasilan illegalnya terhenti dan atau setidaknya merasa dipermalukan bahkan menjadi terancam eksistensinya, terganggu kepentingannya kemudian membiayai dan atau memanfaatkan atau setidaknya bersinergi dengan sejumlah tokoh, kelompok kepentingan dan kaum intelektual yang dilanda krisis etika moral serta haus kekuasaan menempuh startegi politik gaduh dan politik “belah bambu” yang berbasiskan SARA tak terkecuali keinginan untuk menggantikan Pancasila. 

Untuk itu ke depan diperlukan langkah berani pemerintah untuk  menjelaskan kepada segenap lapisan masyarakat tentang “kendala realitas” yang sedang dihadapi bangsa secara apa adanya serta bagaimana mengubahnya menjadi peluang emas dalam menatap masa depan dalam persaingan dunia yang semakin ketat.

Pexels

Penyelenggara negara (termasuk hakim) penyembah berhala  

Ibarat bapak hendak membersihkan lantai, bagaimana mungkin lantai akan menjadi bersih, kalau sapu yang bapak gunakan adalah sapu kotor, bukankah yang akan terjadi justru sebaliknya dimana lantai NKRI akan merata kotor.

Praktek KKN yang tergelar sejak  awal Orde Baru dan maraknya mafia paska reformasi 1998 telah melahirkan sebagian besar ASN dan anggota TNI khususnya elite-nya hidup tanpa etika moral.

Dengan gaji yang begitu kecil yang sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar saja kurang, tapi mereka tidak malu terang-terangan hidup mewah dan bahkan pamer kekakayaan didepan publik, dan hal yang demikian terus berlanjut hingga saat ini. Dan setelah pensiun sebagian dari mereka memilih berkebon bunga (BRI, BNI, Mandiri, BCA, SUN, dll). 

Begitu juga wajah hukum kita, istilah “hukum wani piro” dalam arti jual beli “pasal dan putusan hukum” bukanlah rahasia umum lagi. Pendek kata, proses hukum sejak tingkat penyidikan, penuntuan, pemeriksaan hingga banding, kasasi dan PK serta pemenjaraan semuanya bisa diatur melalui transaksi dan atau melalui praktek mafia hukum.

Maka tidak heran kalau hukum dibanyak tempat justru menjadi neraka, karena tidak sedikit putusan pengadilan justru digunakan untuk melegalkan kejahatan khususnya oleh konglomerat hitam.

Tegasnya, setidaknya sejak Orde Baru bangsa ini melupakan pembangunan karakter bangsa dan akhirnya siapapun ia yang menjadi penyelenggara negara terlebih elitnya niscaya akan berubah menjadi kaum penyembah berhala (pangkat, jabatan, dan materi) sebagaimana yang digambarkan dalam kitab suci sejumlah agama.

Tapi juga sebaliknya adalah “absurd” kalau tanpa jaminan kesejahteraan hidup dan kepastian hidup dihari tua, siapapun ia yang pegang kekuasaan diharapkan tidak korupsi dan atau terlibat praktek mafia. Karena keduanya adalah kreasi manusia yang dikita ditunjang oleh kesempatan yang bergitu besar yang justru bersumber dari sistem tata kelola kekuasaan negara itu sendiri. 

Lantas bagaimana mungkin ada Presiden Republik tak terkecuali bapak sendiri akan mampu memberantas korupsi dan mafia, kalau tidak dimulai terlebih dahulu dari pembenahan tata demokrasi nya terlebih dahulu termasuk sistem hukumnya, sekaligus tata laksana birokrasi yang mampu memberi jaminan kesejahteraan bagi segenap penyelenggara negara. 

Sementara itu tata negara sebagaimana tertuang dalam UUD hasil 4 kali amandemen belum disusun sebagaimana layaknya sebuah sistem demokrasi di mana hubungan antar kelembagaan demokrasi sebagai sub-sub sistemnya saling mempengaruhi dan bersinergi satu dengan lainnya dalam sebuah totalitas (a-sistemik), sehingga yang terjadi  antar lembaga demokrasi justru saling menihilllkan, menjegal dan atau minimal mendistorsi peran & kapasitas masing-masing. 

Namun demikian pemikiran untuk kembali ke UUD 1945 yang asli juga sangat menghina kecerdasan kita semua, bukankah 53 tahun dengan 2 pemimpin kuat kaliber dunia di eranya yaitu Bung Karno dan Soeharto adalah bukti tak terbantahkan bahwa UUD 1945 yang asli sebagai software dalam mengelola kedaulatan rakyat dan kekuasaan negara nyata-nyata gagal untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan didirikannya NKRI sebagai wadah bersama. 

Menjadi naif, kalau kita harus menunggu kembali NKRI dilanda krisis multi dimensional lagi, baru menyadari bahwa kini banyak anak bangsa yang cerdas dan berpendidikan tinggi sesungguhnya lebih dari mampu untuk merumuskan UUD yang baru yang lebih sempurna sebagaimana yang diamanatkan Bung Karno saat pengesahan UUD 1945 dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945.

Dan itulah sejatinya bakti kita kepada pendiri republik sekaligus sebagai wujud syukur atas nikmat berupa warisan NKRI sebagai bingkai dari bangsa yang bhineka.     

*Penulis secara bersambung mengirim surat terbuka untuk Yth. Bapak Presiden, Ketua MA dan sejumlah Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, Kementerian serta Lembaga Pemerintah terkait tentang kerusakan etika moral, peradaban, kebangsaan dan bahkan kenegaraan kita, serta solusi untuk mengatasinya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article