Senin, Desember 30, 2024

Tragedi Undang-undang Cipta Kerja

Must read

Kolom Bahrul Ilmi Yakup

Penyusunan, pembahasan, dan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) pada 5 Oktober 2020  merupakan tragedi legislasi dramatik dan menyesatkan. Paling tidak ada 3 alasan untuk mengatakan UUCK sebagai tragedi legislasi yang dramatik menyesatkan.

Omnibuslaw tidak dikenal dalam falsafah dan dogma pengaturan Indonesia. “Gagasan omnibuslaw” yang menurut penjelasan Menkomarives Luhut B Pandjaitan disampaikan oleh Sofyan Djalil kepada Presiden, namun sampai sekarang Sofyan Djalil  bungkam seolah hendak melepas tanggungjawab dan dosa atas gagasan sesat yang diusungnya. Saya tidak tahu seberapa komprehensif Djalil menjelaskan konsep dan konstruksi omnibuslaw kepada Presiden. Adakah Djalil paham bahwa konstruksi omnibuslaw tidak dikenal dalam ranah perundang-undangan Indonesia yang berbasis civil law? Oleh karena itu, seharusnya Djalil muncul untuk mempertanggungjawabkan gagasan sesatnya secara gentle. Sebab, gagasan omnibuslaw yang dia usung nyatanya  telah memantik kekisruhan dan memakan korban yang tidak sedikit secara sadis. 

Sejatinya, konstruksi omnibuslaw tidak dikenal dalam falsafah dan dogma pengaturan Indonesia yang dipayungi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jo  Undang-Undang No.12 Tahun 2011 yang diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019;  sebagai rujukan dan pola dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. UU No. 12 Tahun 2011 tidak  mengenal jenis peraturan perundang-undangan yang berkarakter omnibuslaw yang mengatur segala atau banyak hal dalam  suatu undang-undang, dan yang lebih tragis UU Cipta Kerja nyatanya menganulir serta mensimplifikasi norma 71 undang-undang lain dalam satu UU. Padahal UUCK bukan merupakan Kitab Undang-Undang sebagai kodifikasi dan unifikasi norma. 

Materi muatan UUCK  tidak sesuai dengan jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana dikehendaki Pasal 5 huruf c jo Pasal 10 ayat (1) huruf a dan b UU No.12 Tahun 2011. Materi muatan undang-undang hanya meliputi  pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; atau perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Kedua syarat yang menjadi koridor materi muatan UU nyatanya tidak dimiliki materi muatan UUCK.

Proses pembentukan inkonstitusional. Pembentukan UU harus melalui 4 tahap, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, dan pengundangan. Pada tahap perencanaan suatu RUU harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Mungkin untuk Prolegnas dapat diterobos dengan menyatakan UUCK masuk dalam Prolegnas Prioritas. Namun, pada tahap penyusunan, apakah RUUCK sudah memiliki dan disusun dalam Naskah Akademik (NA) yang andal? Seandainya RUUCK telah disusun dalam NA yang andal, niscaya tidak akan menimbulkan kekisruhan yang meruyak dan menelan banyak korban. 

Yang paling sadis terjadi pada proses pengesahan pada 5 Oktober 2020. Pada momen tersebut jelas, ada 2 fraksi yang tidak setuju, yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Dalam tata cara pengambilan keputusan yang diatur sila ke-5 Pancasila, Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 jo UU MD3, telah diatur bahwa keputusan DPR sebagai lembaga yang bersifat samen gestelde ambten, diambil melalui musyawarah mufakat. Apabila musyawarah gagal mencapai keputusan, maka keputusan diambil dengan suara terbanyak.

Oleh karena ada 2 fraksi yang menolak, maka seharusnya keputusan pengesahan RUUCK dilakukan melalui voting, terlepas berapa komposisi perolehan suara. Celakanya, pimpinan rapat paripurna tidak melaksanakan voting. 

Lebih skandalistik, ternyata pada saat pengesahan di sidang paripurna 5 Oktober 2020 lalu, ternyata belum ada draft final UUCK  sebagai rujukan materi rapat, dan lebih naas serta memalukan, saat ini muncul 3 versi UUCK dengan beda jumlah halaman  ada yang 905, 1028, dan 1035. Munculnya 3 versi UUCK membuktikan proses pengesahan tidak sah secara konstitusional.

Dengan demikian, pengesahan RUUCK pada 5 Oktober 2020 tidak sah dan inkonstitusional.

Kebutuhan hukum Presiden. Sebagaimana telah dinyatakan berkali-kali oleh Presiden, bahwa pembentukan RUUCK merupakan kebutuhan hukum Presiden untuk menciptakan lapangan kerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam dimensi filsafat hukum, upaya peningkatan kesejahteraan rakyat niscaya bersifat antinomik vis a vis dengan perlindungan terhadap sumber daya alam dan rantai birokasi yang bertele. 

Pada posisi demikian, kebutuhan hukum Presiden selayaknya mendapat tempat dan dukungan obyektif dalam koridor UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obyektivitas positioning kebutuhan hukum Presiden tersebut paling tidak dapat dimaknai dalam dua dimensi: (1) Melakukan koreksi terhadap norma UUCK secara konstitusional, (2) Mengupayakan koreksi tanpa destruksi. Dalam konteks demikian, moral dan fatsun politik mengharuskan  koreksi terhadap UUCK murni untuk kepentingan negara dan rakyat, bukan dimanipulasi menjadi panggung atau drama politik instan oleh para pemburu jabatan.

UUCK dalam posisi point of no return. Meksipun UUCK yang telah disahkan pada 5 Oktober 2020 cacat formal dalam dimensi proses pembentukan, dan cacat materi dalam dimensi materi muatan norma; saat ini UUCK berada dalam posisi point of no return. UUCK tidak lagi berada dalam wewenang DPR, dan tidak pula berada dalam wewenang konstitutif Presiden.

UUCK hanya berada dalam proses administratif  Presiden dalam rangka pengundangan. Vide Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, Presiden memiliki tenggang waktu 30 hari sejak 5 Oktober 2020 untuk mengundangkan UUCK, dengan cara menandatangani naskah UUCK, memberi nomor UU, dan menempatkan UUCK dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara. 

Pada posisi demikian, Presiden tidak memiliki wewenang konstitusional untuk menolak atau membatalkan UUCK. Apabila Presiden menolak mengundangkan UUCK, maka UUCK akan berlaku sebagai undang-undang melalui mekanisme constitusional process. Artinya, lewat tenggang waktu 30 hari, UUCK akan berlaku dan mengikat sebagai hukum oleh proses konstitusional.

Hanya setelah UUCK berlaku sebagai undang-undang, Presiden memiliki wewenang konstitusional konstitutif untuk menganulir atau menyatakan tidak berlaku UUCK melalui penerbitan Perppu, baik total atau parsial. Sebaliknya, DPR memiliki wewenang untuk mengubahnya melalui proses legislative review. Dalam hal Presiden atau DPR tidak menggunakan wewenang konstitusionalnya terhadap UUCK, maka rakyat dan/atau elemen masyarakat madani dapat menguji UUCK ke Mahkamah Konstitusi melalui proses uji materi yang dikenal dengan mekanisme judicial review.

Mekanisme kosntitusional demikian harus dipahami secara baik oleh para demonstran atau penentang UUCK agar upaya yang dilakukan efektif dan efisien, dan yang paling penting tidak membakar emosi yang bersifat destruktif….

Bahrul Ilmi Yakup, Doktor Ilmu  Hukum, Dosen Ilmu Perundang-Undangan, dan Advokat Konstitusi

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article