Rabu, November 27, 2024

Sang Napoleon tersandung red notice

Must read

Berakhir sudah upaya hukum Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Setelah kandas dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Irjen Napoleon sejak 15 Oktober 2020 harus meringkuk di tahanan Bareskrim Polri. Tommy Sumardi, pengusaha rekan dekat Djoko Tjandra (yang diduga menyuap Napoleon konon Rp7 miliar) ikut ditahan. 

Keduanya dianggap berhubungan dengan lenyapnya red notice terpidana Djoko Tjandra dari data NCB Interpol Indonesia. Kisahnya cukup rumit karena sebelumnya Kepala Divisi Humas  Polri Irjen Argo Yuwono menyatakan red notice Joko (2009-2014) ter-delete oleh sistem (article no 51 di Interpol’s Rule on the Processing Data). Pada pasal 68, batas waktu file red notice disebut 5 (lima) tahun. Setelah lewat waktu, otomatis terhapus pada 2014 (Okenews 17 Juli 2020).

Penetapan red notice Djoko Tjandra dilakukan Polri atas permintaan Kejaksaan Agung pada 2009, sehari sebelum Mahkamah Agung menolak kasasinya, Djoko melarikan diri. Putusan itu rupanya bocor. Beberapa kali Djoko dikabarkan masuk ke Indonesia tanpa tercium. Setelah red notice terhapus secara otomatis, kata Irjen Argo, pada 2015 Polri menetapkan Joko dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) setelah diketahui ia berada di Papua Nuigini.

Tapi pernyataan itu dibantah Irjen Setyo Wasisto, Sekretaris NCB Interpol Indonesia (2013-15). Menurut dia, tidak ada penghapusan (ter-deletered notice pada 2014; hingga 2015 status red notice Djoko Tjandra masih aktif. Bahkan hingga Agustus 2015, NCB Indonesia masih berkomunikasi dengan markas Interpol di Lyon, Prancis. Interpol mempertanyakan: kasus hukum Djoko masuk dalam ranah korupsi atau penggelapan. Jika penggelapan (perdata) tidak bisa dikenai red notice (Kompas, 3 Agustus 2020).

Jika pada 2014 red notice otomatis terhapus, demikian Irjen Setyo Wasito, mengapa pada 16 April 2020, Anna Boentaran, isteri Joko minta agar status red notice Djoko dicabut dari Interpol. Surat  Anna itu dibenarkan pihak Divisi Hubungan Internasional Polri. Berhubung Kejaksaan Agung tidak berkirim surat ke Polri untuk memperpanjang status red notice, maka pada 5 Mei 2020 Div. Hubungan Internasional bersurat pada Ditjen Imigrasi memberitahukan penghapusan Joko dari DPO pelintasan.

Pada bulan Mei itu juga Anna Boentaran mendapat surat dari Brigjen Nugroho Wibowo, Sekretaris NCB Interpol Indonesia/Divisi Hubungan Internasional Polri, memberitahukan bahwa Djoko Tjandra bukan lagi subyek red notice. Bertolak dari surat menyurat Divisi Hubungan Internasional itu agaknya, Brigjen Prasetyo Utomo, Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), kemudian mengeluarkan Surat Jalan aspal untuk Djoko Tjandra sehingga Joko bisa bebas terbang pulang ke Malaysia..

Keribetan dalam surat menyurat antara Interpol, Kepala Polri, Ketua Mahkmah Agung dan Jaksa Agung itu ditengarai Ombudsman RI (ORI) merupakan bentuk malaadministrasi. Salah satu indikasinya: tidak diperpanjangnya pencegahan atas Djoko sejak 11 Juni 2010 hingga 31 Maret 2011. Kemudian informasi terhapusnya nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang Interpol yang diterima Polri dari Interpol di Lyon sejak Januari 2019; tapi baru disampaikan ke Kejaksaan Agung pada 13 April 2020.

ORI menemukan unsur malaadministrasi itu setelah menyelidiki kasus pelarian Djoko Tjandra terpidana korupsi cessie Bank Bali itu sejak Juli hingga Agustus 2020. Atas temuan malaadministrasi itu, ORI meminta kepada Ketua MA, Kepala Polri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung melakukan tindakan korektif dalam jangka 30 hari. 

Sementara penyidikan internal dimulai, pada 17 Juli 2020, Kepala Polri Jenderal Idham Azis mencopot Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dari jabatan kepala Divisi Hubungan Internasional Polri; serta mencopot Brigadir Jenderal Nugroho Wibowo sebagai sekretaris NCB Interpol Indonesia. Keduanya dicopot karena melanggar kode etik Polri terkait pemberitahuan penghapusan red notice Djoko Tjandra. 

Pada 5 Mei 2020, Brigjen Nugroho diketahui bersurat ke Dirjen Imigrasi memberitahukan penghapusan red notice Djoko Tjandra. Padahal sebelumnya Kejaksaan Agung sudah meminta kepala Divisi Hubungan Internasional Polri agar mempertahankan status red notice untuk Djoko Tjandra itu. 

Napoleon yang tidak puas dengan pencopotan dan kemudian penetapannya sebagai tersangka penerima suap atas hilangnya red notice menggugat Polri praperadilan lewat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia diduga meminta imbalan dari Djoko yang semula Rp3 miliar jadi Rp7 miliar (yang konon diberikan melalui Tony Sumardi, pengusaha teman dekat Djoko Tjandra). Kesepakatan imbalan itu kabarnya dilakukan pada 13 April 2020. (Kompas, 7 Oktober 2020). Tapi dugaan itu dibantah Irjen Napoleon.

Pada sidang 6 Oktober 2020, hakim tunggal Suharno pada PN Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan Irjen Napoleon Bonaparte, dan memutuskan penetapan Napoleon sebagai tersangka syah, karenanya perkara hukum atas Napoleon bisa dilanjutkan. Kata Suharno, Napoleon tidak bisa membuktikan dalil permohonannya yang menyebut penetapannya sebagai tersangka tidak dilakukan dengan bukti permulaan yang kuat.

Sidang atas Irjen Napoleon akan menarik: jaksa penuntut umum harus membuktikan adanya suap yang diberikan kepadanya. Sementara Brigjen Prasetyo Utomo, Djoko Tjandra, dan pengacara Anita Kolopaking, sudah mulai diadili secara terpisah, di Pengadilan Jakarta Timur, sejak 13 Oktober 2020.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article