Di pesisir Srilanka di awal abad limabelas, Laksamana Zheng, komandan armada China, menorehkan di atas batu, sembah bakti kepada Allah, Syiwa dan Buddha. Dan dalam tiga bahasa ia memohon agar ketiganya memberkati para awak kapalnya.
Zheng, seorang sida-sida (lelaki yang dikebiri) yang setia kepada imperium yang mengebirinya, memimpin armada terbesar sepanjang masa yang melayari tujuh lautan.
Beberapa kapal raksasa dengan kebun buah dan sayuran di dalamnya menjadi pusat armada, dan ribuan tiang kapal mengelilinginya: “Pelayaran laju didorong angin seperti awan yang bergerak di langit…”
Armada itu berlayar pulang pergi antara pelabuhan-pelabuhan China dan perairan Afrika, melalui peraian Jawa dan India dan Arabia. Para pelaut meninggalkan China membawa porselin, sutra, giok, dan pulang penuh dengan cerita dan tanaman ajaib, dan jerapah, gajah, dan burung merak.
Mereka menemukan berbagai bahasa, dewa-dewa, adat istiadat. Mereka belajar sepuluh manfaat kelapa dan aroma mangga yang tak terlupakan. Mereka menemukan kuda dengan badan bergaris-garis hitam putih, dan burung berkaki panjang yang berlari seperti kuda.
Mereka menemukan dupa dan kemenyan di Arabia, dan di Turki batu-batu langka seperti ambar, yang mereka sebut “liur naga.”
Di kepulauan selatan mereka takjub dengan burung yang berbicara seperti manusia dan lelaki dengan kerincingan di sela pahanya untuk memamerkan daya kuat seksualitas mereka.
pelayaran maha raksasa China itu membawa misi eksplorasi dan perdagangan. Bukan penaklukan. Tak ada hasrat menguasai yang membuat Zheng merendahkan dan menghina hal-hal yang ditemuinya.
Yang tidak mengagumkan untuk mereka, paling tidak perlu ditahu. Dan dari satu perjalanan ke berikutnya perpustakaan Imperium di Beijing terus membesar sehingga mempunyai empat ribu buku yang mengumpulkan kearifan dunia.
Pada saat yang sama, raja Portugal hanya punya enam buku.
Eduardo Galeano