Ada anggapan umum bahwa kita hanya bisa menggerakkan ekonomi (dan menjadi sejahtera) dengan mengorbankan alam.
Hutan dikorbankan untuk ekspansi perkebunan monokultur (sawit). Bukit-bukit sumber air dikelupas untuk diambil emas, batubara, nikel, pasir dan batunya.
Sebagian dari anggapan keliru tadi muncul dari kekeliruan dalam pengelolaan sumber daya alam yang kita miliki. Ada setidaknya dua jenis sumber daya alam: SDA hayati dan SDA mineral (tambang).
SDA hayati Indonesia, menurut saya, jauh lebih kaya dan bernilai dari SDA mineral (bahkan jika itu emas).
Indonesia adalah MegaDiversity, salah satu negeri dengan keragaman hayati tertinggi di dunia, baik di darat, laut, sungai maupun gunungnya.
Kita memiliki jenis flora (tanaman) dan fauna (hewan) yang sangat beragam. Itu tecermin dalam beragam ekosostem yang ada: ekosistem hutan tropis, ekosistem mangrove, ekosistem rawa dan gambut, ekosistem danau air tawar dan ekosistem terumbu karang di laut.
Keragaman itu terlihat pada 54 taman nasional yang kita miliki, yang masing-masing mewakili ekosistem khas. Gambar di bawah hanya sebagian saja dari taman nasional yang kita miliki.
Di samping taman nasional, kita juga punya ratusan cagar alam, suaka alam dan taman hutan rakyat. Namun kini makin terancam akibat paradigma ekonomi yang keliru (belakangan pemerintah membolehkan perusahaan menambang di hutan lindung).
Keragaman flora saja (setidaknya ada 25.000 jenis tanaman yang kita ketahui) sebenarnya merupakan sumber ekonomi yang dahsyat jika kita tekuni. Dia sumber pangan, obat dan kosmetika yang senantiasa dibutuhkan bersama pertambahan jumlah penduduk.
Kita hanya bisa memperoleh manfaat ekonomi hutan, gunung dan laut jika kita melestarikannya, dan mengelolanya secara berkelanjutan.
Pada kenyataannya, manfaat hutan, laut dan gunung tidaklah sekadar ekonomi. Semua itu memberi manfaat ekologis yang tidak bisa dinilai dengan rupiah: menyimpan dan mengatur air, melindungi tanah, menghasilkan oksigen.
Bahkan tak hanya itu. Lestarinya hutan, sungai, gunung dan laut adalah sumber inspirasi bagi seni-budaya dan spiritualisme.
SDA tambang cenderung terkonsentrasi pada segelintir pemilik (konglomerat), dan sudah terbukti memicu konflik di mana-mana. Sebaliknya, SDA hayati lebih tersebar, menjadi sumber ekonomi serta penyedia lapangan kerja bagi puluhan jutaan petani dan nelayan.
Ekonomi vs alam? Menurut saya, lupakan tambang, tinggalkan untuk anak-cucu kita yang mudah-mudahan kelak punya ilmu dan teknologi yang memungkinkan menambang tanpa merusak alam. Dan fokus pada pengelolaan SDA hayati secara berkelanjutan.
Lestarikan alam. Penghutanan kembali secara masif. Perbanyak riset tentang sumber genetik kita, budidaya beragam tanaman, serta pengolahannya. Ini akan membangkitkan tak cuma pendapatan, tapi juga memperluas lapangan kerja, khususnya di pedesaan.
Keindahan dari konsep ini: kita hanya memperoleh manfaat ekonomi dari melestarikan alam; serta memperoleh manfaat tak ternilai dari fungsi ekologisnya. (Farid Gaban)