B. Herry Priyono, SJ. dalam kenangan
Oleh Yanuar Nugroho
“Di bawah kolong langit ini tidak ada yang sepenuhnya takdir, atau sepenuhnya kehendak bebas manusia. Situasi yang disebut ‘takdir’ itu sesungguhnya membentuk dan sekaligus terbentuk dari apa yang diklaim manusia sebagai kehendak bebas.”
Kata-kata ini tidak akan pernah saya lupakan, karena apa yang ada di belakangnya membentuk cara pikir saya hingga saat ini. B. Herry Priyono, SJ., atau Romo Herry –demikian saya dan banyak orang lain memanggilnya– lah yang mengucapkan kata-kata itu sebagai sebuah buah refleksi panjang atas perenungan filosofisnya terhadap berbagai hal yang membentuk, atau meremuk, hidup-bersama (shared life).
Takdir hanyalah separuh cerita. Demikian juga dengan kehendak bebas manusia. Maka kalau penjelas gejala hidup diletakkan hanya pada takdir, atau hanya pada kehendak bebas, cara pikir ini bukan hanya bias, tetapi sesat. Hidup manusia hanya bisa dipahami dari rangkaian pilihan bebas akan tindakan sekaligus bekerjanya faktor-faktor yang dipercaya sebagai takdir itu.
Mungkin tanpa Romo Herry, demikian saya dan banyak orang lain memanggilnya, saya tidak akan pernah menjalani apa yang selama ini saya tapaki. Dia yang mendorong saya memperluas cakrawala pemikiran dan terutama keterlibatan; yang membantu saya memahami berbagai tegangan dalam pilihan-pilihan hidup.
Kalau tak salah ingat, saya pertama bertemu dengan Romo Herry saat saya masih studi di ITB. Saya ke yogya dalam sebuah liburan dan ikut ngumpul dengan sejumlah aktivis dari UGM. Seorang Romo (atau masih frater? Saya lupa) bicara tentang pentingnya gerakan mahasiswa.
Saya terkesan dengannya. Mulai makin intens bertemu dengannya sejak 1994-1998 saat Romo Herry bolak-balik London-Jakarta untuk mewawancara puluhan orang, mencari data untuk PhDnya, yang kok ya berlangsung dalam ketegangan politik di Jakarta.
Singkat kata, Soeharto jatuh. Saya berangkat ke Inggris untuk studi S2 dengan beasiswa dari Chevening tahun 2000-2001 di Manchester. Saya ketemu lagi Romo Herry yang sedang menulis thesis PhD-nya di LSE london.
Dia mendatangi saya ke Manchester. Ketemu beberapa teman. Lalu saya juga beberapa kali mendatangi dia ke komunitasnya di dekat Seven Sisters tube station di London sana. Membawa rokok kesukaannya, atau sebotol-dua botol wine.
Dia cerita bahwa dia akan ‘nguli’ (menjadi tukang angkat barang) di supermarket lokal (saya lupa Sainsbury’s atau Tesco) barang 5-6 jam agar punya uang untuk beli ikan seabass sebelum saya datang.
Lalu saat saya datang, Romo akan mengkukusnya, diberi daun bawang, jahe, bawang putih, dan minyak wijen. lalu kami akan gayeng-gayengan makan bareng dan ngobrol sampai pagi.
Juli 2001, di tengah-tengah penulisan thesisnya dan juga saya tengah menulis disertasi S2 saya, Romo Herry mengajak saya ikut ‘Marxism 2001’ kursus ekonomi-politik Marxisme di London yang diprakarsai partai buruh. Sebuah kursus sekaligus festival paling menarik yang pernah saya ikuti dalam hidup saya.
Romo Herry juga yang mengenalkan saya langsung pada Anthony Giddens, yang lalu mengijinkan saya mengikuti kelasnya dalam mini-seri kuliah singkat. Jadilah saya bolak-balik Manchester-London demi mengikuti kelas Giddens selama beberapa rabu di LSE, dan minum bir di cafe di deket Holborn tube station sana.
Kami sama-sama pulang ke Indonesia 2001. Romo Herry dengan PhDnya, saya dgn MSc saya. Kami langsung tancap gas melakukan maraton training politik lewat Uni Sosial Demokrat bersama (almarhum) Pak Bambang Warih Koesoema dan Pak Soedjati Djiwandono.
Kalau tidak salah, 8 atau 6 kali setahun, selama dua tahun, kami genjot training-training itu dengan Romo Herry sebagai penjaga gawang isinya. Alumni-alumni training politik Unisosdem kini sudah tersebar entah di mana.
Sampai akhirnya saya kembali ke Manchester lagi untuk studi S3, post-doctoral, hingga tinggal di sana sampai 2012. Romo Herry adalah ‘pembimbing’ saya secara informal yang membantu saya mengkerangkakan pikiran-pikiran saya dalam keketatan filsafat karena saya menjelajah cakrawala studi inovasi dengan konteks masyarakat sipil dan teknologi informasi dalam upaya mendorong demokratisasi.
Bersama Bang Gindo Tampubolon yang membuka mata tentang metodologi, Romo Herry membantu saya melewati masa-masa berat studi S3 yang akhirnya bisa saya selesaikan dalam waktu kurang dari tiga tahun — sebuah rekor baru di Universitas Manchester saat itu.
Romo Herry mendorong saya tinggal di Inggris saat saya merasa keahlian saya tidak dibutuhkan di tanah air. Tetapi dia minta saya peka jika saatnya tiba saya harus pulang ke tanah air. Jadilah saya tinggal di Manchester. Menjadi dosen, peneliti, bahkan membantu pemerintah Inggris dan Uni Eropa. Saya mengembangkan berbagai keahlian baru, yang dengan sangat antusias selalu ingin diketahui Romo Herry.
Sampai saatnya tiba. Tahun 2012 saya diminta pulang ke Indonesia. Menjadi Asisten Ahli Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan & Pengendalian Pembangunan) pak Kuntoro Mangkusubroto.
Orang pertama yang saya hubungi adalah Romo Herry, yang meneguhkan pilihan untuk pulang, meski pilihan itu saya buat sendiri. Demikian juga saat saya diminta menjadi Deputi Kepala Staf Kepresidenan di bawah pak Luhut Pandjaitan Januari 2015 membantu pak Jokowi.
Bahkan, Romo Herry memberikan ‘tumpangan’ kepada saya di Kolese Kanisius, di kamar 235 (gedung dua, lantai tiga, kamar nomor 5) sampai saya bisa menyewa tempat. Kamar itu, 235, adalah kamar yang selalu saya tempati dari 2000-2012 setiap kali saya ke Indonesia –atas upaya Romo Herry memintakan ijin kepada Romo Rektor Kanisius.
Keterlibatan saya di pemerintahan (UKP4, di KSP) sering saya bicarakan dan konsultasikan dgn Romo Herry. Dia amat jernih sebagai ‘cermin’ berbagai keputusan dan pendekatan yang saya ambil selama di UKP4 dan KSP. Termasuk akhirnya keputusan mengundurkan diri dari KSP dan memilih membantu pak Jokowi dari luar sistem di periode kedua ini.
Diskusi saya yang mendalam terakhir dgn Romo Herry tentang buku ‘Jokowi: Man of Contradictions’ akhirnya terbit di J. Contemporary Southeast Asia Desember 2020 ini, yang waktu saya tunjukkan ke dia, dia bilang, “Splendid!“
Lewat Romo Herry, saya mendalami filsafat, khususnya filsafat sosial dan berbagai gagasan ekonomi politik. Dia mengenalkan saya tidak hanya pada Anthony Giddens, tapi juga pada berbagai gagasan pokok filsafat ilmu.
Dia yang membawa saya menyeberangi dunia teknik-rekayasa menuju dunia sosiologi, bahkan politik dan kebijakan publik. Dia membuka cakrawala lebih luas tentang implikasi relasi manusia dengan teknologi, yang lantas membuka mata saya pada kemendalaman relasi manusia dengan ciptaan lain.
Saat itulah, Romo Herry mengenalkan konsep dualitas kepada saya. Bukan ‘atau ini atau itu’, melainkan ‘sekaligus keduanya saling mempengaruhi’. Bukan dualisme, yakni ‘hanya ini atau itu’.
Saat dia memperkenalkan strukturasi modernitas, hingga pemikiran pasca strukturalisme, bahkan konstruksi sosial, cara pikir dualitas ini amat mempengaruhi dia, yang dia tularkan ke saya.
“Korupsi itu perkara apa: budaya atau tindakan individu? kalau kamu pilih salah satunya, kamu terjebak dalam dualisme. Korupsi itu sekaligus budaya dan tindakan individu.” Begitu katanya. “Tindakan individu memperkuat budaya korupsi, sementara budaya korupsi mempengaruhi pilihan tindakan individu.” Double-hermeneutic, itu katanya.
Romo Herry menunjukkan bahwa dualitas ini adalah salah satu gagasan kunci untuk memahami hidup. Dan dia tunjukkan itu bukan hanya untuk memahami korupsi, salah satu fokus penelitian utamanya, tetapi dalam memahami banyak hal lain.
Misalnya dalam memahami kaitan antara idea (gagasan) dan realitas (kenyataan); antara struktur dan pelaku; antara gagasan dan tindakan — dalam berbagai hal: teknologi, sosial, politik, ekonomi, lingkungan, sistem nilai, bahkan hingga apa yang selama ini dipandang sangat pribadi seperti relasi, cinta, seks, hingga praktik kuasa yang menembus batas-batas privat dan publik.
Tetapi Romo Herry memperingatkan saya, bahwa seiring dengan pemahaman ini, harga yang harus dibayar adalah kegelisahan. Mengapa? Karena kerdilnya otak manusia secara naluriah akan mencari penjelasan yang lebih mudah. Dan yang mudah adalah dualisme: ini atau itu. Bukan keduanya.
Apalagi memahami bahwa keduanya saling terkait. Bagaimana cara mudah menjelaskan bahwa sesuatu sekaligus ada benarnya dan ada salahnya? Bagaimana cara mudah menjelaskan bahwa sesuatu terjadi bukan hanya karena takdir tetapi juga pilihan bebas manusia? Bagaimana cara mudah menjelaskan fenomena globalisasi, atau neo-liberalisme, atau fundamentalisme agama?
Maka dia mengenalkan gagasan ‘tegangan’ (tension) dalam dualitas. Menjelaskan “keduanya saling mempengaruhi” saja tidak cukup. Mesti lebih dalam: bagaimana A mempengaruhi B, B mempengaruhi A, dalam kondisi ruang-waktu-konteks seperti apa. Hidup manusia adalah tegangan abadi antara gagasan yang ideal dan kenyataan yang riil.
Manusia sejati adalah yang menghidupi tegangan itu. Bukan memilih satu dari keduanya. Silakan terapkan ini untuk memahami apapun yang selama ini dengan gampang anda labeli ‘benar-salah’, atau ‘baik-buruk’, bahkan ‘suci-dosa’.
Maka Romo Herry bilang, “Nanti, saat kamu makin memahami dualitas dan tegangan dalam dualitas ini, kamu akan makin gelisah. But be not afraid that restlessness is what will make you not only more knowledgeable, but much wiser.”
And he is right. Damn right. Romo Herry bilang bahwa hidup dalam kenyataan saat ini, khususnya di Indonesia, amat situasional. Tidak ada yang ideal.
Maka, dalam bahasanya, tidak ada solusi permanen, hanya ada penyelesaian (settlement) sementara. Saya minta ijin kepadanya untuk menggunakan line ini dalam perdebatan saya dengan Ben Bland saat mendiskusikan ‘nature’ pendekatan Jokowi dalam memerintah.
Menurut Ben, Jokowi sangat kontradiktif. Hemat saya, menggunakan ‘senjata’ dari Romo Herry tadi, Jokowi bukan kontradiktif, tetapi justru secara konsisten sangat situasional.
Lha kok ya ndilalah dalam diskusi dengan seorang sahabat yang sekaligus jurnalis pengamat politik, Sofie Syarief, ia berujar, “Mas, akar semua masalah di republik ini adalah karena parpol di indonesia itu tidak punya ideologi. Hanya kepentingan.” Saya terdiam.
Gamblang bagi saya: Romo Herry memberikan landasan filsafat memahami gejala yang jeli dibaca Sofie. Dan kini ijinkan saya merumuskannya untuk Anda: remuknya hidup bersama di republik ini adalah karena ruang bagi gagasan makin sempit tergencet semata-mata kepentingan.
Akibatnya, nyaris seluruh interaksi sosial-ekonomi-politik kita makin tidak menempatkan pentingnya gagasan, namun dalam bahaya besar menjadi sekedar transaksional untuk mengejar dan mengamankan kepentingan.
Silakan Anda terapkan ini untuk melihat partai politik kita, masyarakat sipil kita, dan pemerintahan kita hari-hari ini — bahkan untuk memahami reshuffle yang baru terjadi kemarin.
Saya jarang menerima apapun face value. Termasuk isi obrolan dengan Romo Herry. Tapi memang bicara dengannya selalu memaksa saya berpikir lebih dalam. Dan dalam refleksi tentang dualitas ini, saya melihat kaitan erat antara intelektualitas dengan iman dan spiritualitas.
Awalnya, saya kira pendalaman mengenai dualitas dan tegangan dalam dualitas yang disampaikan Romo Herry ini terutama berdasar pada keketatan filsafat ilmu. Khususnya tarikan antara volunterisme dan determinisme.
Namun, ternyata bukan. Akarnya lebih jauh, lebih mendalam: pada iman dan spiritualitas kristiani, khususnya sebagai seorang Yesuit.
Iman kristiani yang meyakini Kristus sekaligus sebagai Allah dan manusia, sekaligus sebagai yang ilahi dan manusiawi, adalah pondasi dasarnya memahami filsafat dualisme itu.
Dengan kata lain: inkarnasi. Ya, sumber pemahaman dan pemikirannya mengenai dualitas dan tegangan dualitas adalah inkarnasi itu sendiri.
Romo Herry beberapa kali mengutip Kitab Suci yang juga bagian dari Doa Syukur Agung saat menjelaskan kepada saya tentang hidup; yakni bahwa hidup itu seperti si Tukang Kayu yang sedang disalib di tiang pancang itu, “Tangan-Nya yang terentang antara langit dan bumi.” Perhatikan: antara langit (idea, gagasan, surga) dan bumi (realita, kenyataan, dunia). Itulah hidup. Itulah kehidupan.
Dan dari situ, saya lebih mudah memahami dan mengikuti panggilannya sebagai seorang Yesuit: untuk menjadi makin ilahi, maka kamu harus makin dalam terlibat dalam hidup duniawi. Kamu mau lebih dekat kepada Allah? Layanilah manusia, khususnya si miskin dan tertindas! Kamu mau masuk surga? Terlibatlah dengan banyak persoalan dunia. Kamu mau takdirmu baik? Latihlah dirimu dengan memilih tindakan-tindakan yang baik. Dan seterusnya.
Dengan kata lain: menghidupi tegangan, dengan kesadaran. Dan pesan ini, saya yakin, bukan hanya valid untuk orang Kristen, tetapi untuk semua orang.
Romo Herry mengajak saya memahami itu. dan saya yakin dia juga mengajak banyak orang lain.
Maka saat kabar mengejutkan itu tiba, saya bahkan tercekat tidak tahu mesti bereaksi apa. Romo Heru Hendarto, SJ, kolega dan Rektor di Kolese Kanisius, menceritakan bahwa Senin pagi, 21 Desember, Romo Herry masih bergurau di ruang makan sebelum naik motor berenang rutin.
Seusai renang, masih ngopi lalu ke refter (ruang makan) membawa mangkok dan piring untuk dikembalikan ke dapur (tradisi di pastoran, mau uskup atau masih frater, habis makan dibawa sendiri ke dapur buat dicuci). Mau meletakkan, tidak kuat. Romo Herry jatuh. Lalu dilarikan ke RS St Carolus. 21 Desember 2020, jam 11.20, dalam usia 60 tahun, Romo B. Herry Priyono SJ dinyatakan meninggal. Berpulang menghadap penciptanya.
Saya tidak bisa menangis. Saking kaget dan sedihnya. Istri saya, Ira, yang tentu saja sangat tahu kedekatan saya dan Romo Herry sampai bertanya, “Kok kamu gak menangis?” Saya kira, saya memang shock. Dan baru tadi, saat memegang kedua tangan Romo Herry yang sudah kaku sesaat sebelum dimakamkan, air mata saya mengalir.
And I was in shake. Romo Herry was always my mentor, spiritual companion, dan teman ngobrol, minum wine, dan makan enak … He was always there when I need him. Lebih dari itu, dia menjadi sumber dan cermin jujur pikiran dan tindakan saya. Dan kini dia sudah pergi.
Apa yang dia wariskan adalah sebuah cara berpikir. Dan ini lebih penting dari sekedar gagasan. Karena cara pikir itulah yang melahirkan gagasan. Kita semua, yang pernah menjadi muridnya, anak didiknya, atau koleganya, mungkin terpanggil untuk merawat itu. Kalau tidak? Tidak apa-apa juga.
Saya pernah bertanya padanya suatu kali, “Romo, gimana kalau pemikiran-pemikiran Romo ini didokumentasikan agar terus diketahui orang dan diwariskan?” Dia jawab, “Nggak penting itu. Kalau orang mau tahu, dia akan mencari tahu. Kalau enggak, nggak apa-apa. Bukan saya yang rugi,” jawabnya sambil meminum segelas Chianti kesukaannya.
Saat saya di Inggris, dalam kegalauan saya mengerjakan PhD, Romo Herry yang ternyata romantis itu mengirimkan sebuah puisi kepada saya yang ditulisnya dalam beratnya ia menyelesaikan PhD-nya. Katanya, “Ini untuk menemanimu mencecap kesepian dan kesendirian dalam berpikir.” Ini puisinya:
St. James’s Park
di taman ini
aku sering melihatmu
di antara ribuan willow
yang menjulur ke danau
mungkin itulah mengapa
aku suka pulang ke taman ini
karena seperti merasa
dahulu kala, sebelum dilahirkan
kita sama-sama tinggal di sini
bersama danau, itik, dan angsa
daun, bunga, dan rahasia
jauh sebelum diam
terjatuh ke dalam kata.
London, 1995
© B. Herry Priyono
Puisi itu bukan hanya membuat saya penasaran mendatangi taman St James’ di London (dan selalu saya sempatkan datangi kemudian setiap kali saya ke kota itu), tetapi sungguh membawa saya sejenak lebih tenang saat saya gelisah dan galau menghidupi hidup nyata yang saya jalani.
Romo Herry Priyono, SJ, jiwa yang selalu gelisah itu, kini sudah beristirahat kekal dalam damai di taman abadi. Selamat jalan, Romo. Sampai bertemu lagi.
Girisonta-Yogyakarta, 23 Desember 2020