Oleh Hamid Basyaib
Jalaluddin Rakhmat yakin bahwa Gus Dur adalah seorang yang menguasai ilmu laduni — pengetahuan yang didapat seseorang tanpa melalui proses belajar. Bagaimana ia bisa seyakin itu? Ia menopang keyakinannya dengan cerita ketika ia, Gus Dur dan beberapa cendekiawan Islam, berkunjung ke Teheran atas undangan pemerintah Iran, pertengahan 1990an.
Dalam kunjungan itu mereka mendatangi kantor sejumlah petinggi Iran. Pada semua kunjungan itu Gus Dur tertidur setelah beberapa menit percakapan dimulai. Seusai pertemuan, dalam sesi “evaluasi” sekembalinya mereka ke hotel, biasanya ia dan teman-teman mengingatkan Gus Dur agar dalam pertemuan berikutnya tokoh NU itu jangan tertidur. “Ya, ya, ya,” begitu tanggapan Gus Dur selalu.
Ketika mereka menemui Ketua Parlemen, tutur Jalal dalam obrolan ringan di ruang direksi majalah Ummat, ternyata Gus Dur tetap tertidur sebelum acara berakhir.
Di hari terakhir kunjungan, mereka akan menemui Presiden Hashemi Rafsanjani di kantornya. Jalal adalah orang yang paling serius meminta Gus Dur agar ia tak tertidur nanti. “Gus, yang mau kita temui kali ini presiden, lho,” katanya. “Kalau kemarin-kemarin, okelah tidur. Tapi kali ini mohon betul jangan tidur ya, Gus.” Gus Dur menyeringai sambil, “Ya, ya, ya, ya!”
Pagi itu Presiden Rafsanjani menyambut mereka dengan hangat. Percakapan berlangsung santai meski serius. Rafsanjani bercerita macam-macam. Delegasi Indonesia menyimak dengan cara selayaknya tamu seorang presiden. Gus Dur tertidur.
Tiba saatnya ia harus bicara, seseorang mengguncang lengannya, dan ia terbangun. Lalu, tutur Jalal, Gus Dur menanggapi semua pernyataan Rafsanjani dengan komentar cemerlang dan terinci, dalam bahasa Arab yang fasih. Semua hadirin ternganga — Presiden Rafsanjani mungkin berusaha keras menutupi kekagumannya agar kurang terlihat.
“Menurut saya Gus Dur itu wali, menguasai ilmu laduni,” kata Jalal mengulangi keyakinannya.
Jalaluddin Rakhmat mungkin hanya menguasai ilmu biasa, non laduni. Tapi siapapun yang pernah mendengar ia bicara dalam diskusi, atau membaca artikel dan buku-buku karyanya, tidak mungkin menyimpulkan lain kecuali bahwa ia seorang yang brilian. Keunggulan lisannya setara dengan kecanggihan tulisannya.
Dengan aksen Sunda yang pekat dan artikulasi sempurna, dengan kefasihan ucapan ketika ia mengutip frase dalam bahasa Arab, Parsi maupun bahasa-bahasa Eropa, ia mahir menyindir ke sana ke mari dengan menumpanginya dalam lelucon segar. Ia, misalnya, dalam sebuah diskusi di Jogja, pernah menjelaskan makna asosiasi.
“Kalau kita melihat baju berwarna hijau,” katanya, “pikiran kita terasosiasi dengan tentara, baik yang jelek maupun yang buruk.” Ia tahu: dengan cara itu siapapun yang disindirnya tidak akan bisa bereaksi negatif di depan publik; paling jauh mereka hanya bisa menggerutu di belakang forum.
Dan sebagai pakar komunikasi cemerlang, ia juga tahu: sisipan lelucon adalah bumbu wajib dalam setiap presentasi, dengan kadar yang tepat dalam semua aspeknya. Ia selalu sanggup mengontrol emosinya, tak pernah bicara dengan nada tinggi untuk hal yang paling perlu ditekankan nilai pentingnya maupun ihwal yang paling menjengkelkannya. Ia salah satu pembicara publik terbaik di Indonesia.
Kang Jalal, begitu namanya bagi orang-orang dekatnya, mulai tampil di pentas intelektual Islam nasional di awal 1980an sebagai bagian dari euforia yang disebut “kebangkitan Islam di abad 15 Hijriah,” seperti misalnya dikumandangkan oleh tokoh terpenting Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyah M. Natsir melalui buku kecilnya.
Kemunculannya seiring dengan tampilnya para dosen perguruan tinggi umum yang baru kembali dari studi di Amerika, yang menyajikan wacana Islam secara baru dan memikat kaum muda. Mereka menarik dalam banyak seginya. Mereka berpenampilan “sekuler”, bahkan tanpa sekadar peci hitam, di acara-acara diskusi yang tak putus digelar di kampus-kampus.
Pada 1984, misalnya, majalah Prisma, kiblat perkembangan ilmu-ilmu sosial Indonesia, merasa perlu menyajikan edisi khusus tentang gejala baru yang menarik dan tak berpreseden ini.
Prisma menampilkan edisi “Angkatan Baru Islam”, dengan ketebalan ekstra, dan kabarnya edisi itu dicetak ulang. Jalaluddin Rakhmat ikut diundang menulis di sana, bersama Nurcholish Madjid, Abdurrahmam Wahid, Amien Rais dan beberapa cendekiawan Islam paling terkemuka lainnya. Para kontributor itu, menurut editor Aswab Mahasin yang menulis pengantar pendek yang bagus, bagaikan muazin baru. “Mereka datang justeru untuk memulai, bukan untuk mengakhiri.”
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menulis buku kecil “Merambah Jalan Baru Islam” tentang mereka. Kecenderungan ini terus bergulir, hingga mengkristal antara lain dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990.
Adi Sasono, seorang aktifis non-scholar yang menjadi bagian dari generasi “kebangkitan Islam” itu, mengungkapkan sisi lain dari pembentukan ICMI dengan antusias, dan dengan bangga menyebut bahwa “(jumlah santri) yang bergelar doktor sudah lebih dari seratus orang” — karenanya mereka wajar ditampung dalam sebuah organisasi cendekiawan. Kang Jalal tampak enggan untuk terlibat dalam euforia ICMI, meski ia tak seterbuka Gus Dur dalam menyatakan ketaksetujuannya.
Posisi kecendekiawanan Jalal juga unik dalam hal lain: ia berbasis di Bandung, tapi bukan bagian dari Masjid ITB Salman yang legendaris. Mungkin karena ia dosen Univeritas Padjadjaran, kalaupun alasannya bukan ideologis. Ia seolah ingin menegaskan jalurnya sendiri, terlepas dari pendekar-pendekar Bandung seperti Imadduddin Abdulrahim atau Ahmad Sadali, dua tokoh utama Salman dari generasi lebih tua.
Imaduddin, seorang yang sejak lama dibidik oleh intelijen Orde Baru, membina mahasiswa Bandung di Masjid Salman dengan program reguler Latihan Mujahid Dakwah (LMD), dengan rujukan utama buku kecil karyanya sendiri yang mashur, “Kuliah Tauhid”, diterbitkan oleh penerbit Pustaka Salman yang cepat membesar dan rutin menerbitkan buku-buku Islam bermutu, dengan sampul berkarakter kuat, hasil rancangan Ahmad Nu’man, seorang arsitek ternama, adik kandung Sadali. Jalal menulis buku-bukunya sendiri dan diterbitkan oleh penerbit baru Bandung, Mizan.
Ia menjadi kutub tersendiri di Bandung. Meski tak pernah eksplisit menyatakan ia penganut Syiah, ia dengan sepantasnya mengungkapkan dengan caranya sendiri preferensi sektariannya. Paling jauh ia mengungkapkan dengan tersenyum bahwa ia, yang berlatar Muhammadiyah, adalah pengikut “ahlussunnah wal Syiah.”
Ia juga berbeda dari Miftah Faridl, rekan segenerasinya yang lebih berpenampilan dai. Tentu ia juga berbeda dari KH Engkin Zaenal Muttaqin, yang mendirikan Universitas Islam Bandung (Unisba). Dalam hal “menyumbang” cendekiawan Muslim, Bandung setara dengan Bogor, tempat A.M Saefuddin dan Hidayat Nataatmadja berbasis di IPB; berbeda jumlah dari Jakarta dan Jogja.
Sebagai penulis rubrik tetap “Halaman Akhir” di majalah mingguan Ummat, Jalaluddin Rakhmat — yang menggunakan nama pena Fikri Yathir — termasuk kolumnis yang lebih sering menyetor tulisan di menit-menit terakhir daripada di awal; bahkan beberapa kali ia menyatakan absen di saat-saat terakhir menjelang majalah naik cetak, membuat redaksi harus mengganjalnya dengan tulisan darurat.
Suatu hari, lewat tengah malam, redaksi meneleponnya, mengingatkan bahwa ia harus segera mengirim tulisan. Ia meradang. “Saya ini menulis dengan serius!”, katanya. “Saya bukan si Anu (ia menyebut nama), yang bisa nulis apa saja sekenanya!”
Ia berkata benar. Ia selalu bersikap profesional. Ia selalu bersungguh-sungguh dalam menulis tentang apa saja — teori-teori psikologi dan komunikasi, budaya pop, filosof-filosof Islam si abad-abad lampau, pemikiran irfani (sufisme) Persia. Dan tulisannya di rubrik itu selalu memikat.
Misalnya ketika ia membuat analogi yang kuat dan konsisten antara sikap kapten kapal di film “Titanic” yang waktu itu sedang mashur dan melemahnya kekuasaan Presiden Suharto. Dari semua tulisannya yang cerdas dan bertabur kalimat-kalimat efektif, terlihat bahwa ia mempelajari teknik dan seni menulis dengan sungguh-sungguh. Betul, ia bukan penulis seserampangan si Anu.
Jelas ia seorang pakar komunikasi — ia melahirkan beberapa buku teks yang bagus dan sampai sekarang masih terus dicetak ulang — yang menerapkan keahliannya dalam praktik, dan dengan sukses, bukan hanya menguasai aspek teoretis ilmu komunikasi.
Ia pernah melanjutkan studi ke Australia dalam ilmu politik untuk mendapat gelar doktor. Belajar di bawah bimbingan Indonesianis ternama Harold Crouch, ia tampaknya menghadapi banyak masalah non akademis sampai tak sanggup menuntaskan studinya.
Dalam pemilu 2014, ia secara mengejutkan menjadi calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan, dan berhasil lolos ke Senayan. Semua orang yang mengenalnya dengan antusias menantikan kiprah politiknya, sambil berharap besar bahwa ia akan mampu memberi warna baru pada postur intelektual badan legislatif itu. Sampai sepanjang lima tahun kemudian, publik hampir tak mendengar aksi legislatif apapun darinya.
Mungkin ia lebih sibuk menjalani apa yang menjadi gairah terbesarnya: mengurus Muthahari, sebuah sekolah menengah di Bandung yang dibangunnya dari nol. Ia yang kacamata minusnya terus menebal, dan tampak nyaman dengan rambutnya yang cukup gondrong, memang memulai karirnya sebagai guru SMP Muhammadiyah di pinggiran Bandung.
Mungkin ia kini bahagia karena mengawali karirnya sebagai guru, dan mengakhirinya sebagai guru pula, Senin sore, 15 Februari, dan berjumpa lagi dengan isteri yang meninggalkannya empat hari sebelumnya.
Ia tampaknya cukup puas dengan tak henti belajar apa saja, dari buku-buku dalam sejumlah bahasa. Kalaupun ia bukan penulis besar, ia pastilah seorang pembaca besar. Dan ia ingin anak-anak didiknya, di sekolahnya maupun forum-forum non sekolah, tak pernah lelah mencintai pengetahuan.
Ia tahu bahwa mereka semua, bahkan dirinya sendiri, tak akan sanggup menjadi Gus Dur — hanya dia seorang yang menguasai ilmu laduni.