Surat dari Redaksi
Laporan utama majalah TEMPO pekan ini mengangkat topik soal tarik-ulur fatwa vaksin AstraZeneca. Meski membolehkan penggunaannya, Majelis Ulama Indonesia menyatakan vaksin tersebut haram karena menilai pembuatannya tersebut memanfaatkan babi.
Sebaliknya, AstraZeneca menyatakan vaksinya tak menggunakan unsur hewani, termasuk babi. Demikian pula Badan Pengawas Obat dan Makanan yang menyatakan vaksin itu mengandung babi.
Bagaimana kami membuat laporan ini?
Satu hari setelah 1,113 juta dosis vaksin AstraZenecca tiba di Indonesia pada Senin, 8 Maret lalu, sejumlah informasi diterima awak majalah ini. Berasal dari seorang pejabat tinggi, informasi itu menyebutkan bahwa vaksin asal Inggris itu terhambat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia. Ganjalan itu membuat vaksin dengan efikasi 62,1 persen itu tidak bisa segera diinjeksikan kepada sekitar 556 ribu orang.
Hingga akhir pekan kedua Maret, fatwa MUI pun tak kunjung turun. Padahal, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah menerbitkan izin penggunaan darurat vaksin AstraZeneca pada 22 Februari.
Pengumuman izin darurat yang baru dilakukan pada 9 Maret atau sehari setelah vaksin itu tiba di Indonesia membuat kami bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya terjadi di balik pengajuan fatwa MUI itu. Proses ini berbeda dibandingkan dengan vaksin Sinovac asal Cina yang dengan cepat mendapat fatwa halal dari Majelis Ulama.
Temuan kami…
Berangkat dari informasi awal tersebut, kami menemui sejumlah pengurus Majelis Ulama Indonesia. Dari mereka, kami mengetahui bahwa Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berkunjung ke kantor MUI bersama sejumlah pejabat seperti Kepala BPOM Penny Lukito dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo, berapa jam sebelum vaksin tiba di Indonesia. Dua pengurus MUI bercerita bahwa dalam pertemuan itu terjadi perdebatan alot soal aspek kehalalan vaksin.
Pangkal persoalannya adalah tripsin babi yang digunakan sebagai katalis untuk pengembangbiakan virus Corona. Pihak AstraZeneca menyatakan bahwa vaksin yang dikembangkan bersama Oxford University itu tidak mengandung babi dan telah digunakan di berbagai negara Islam. Sedangkan Komisi Fatwa MUI menganggap pemanfaatan tripsin membuat vaksin menjadi tidak halal. Belakangan, MUI mengeluarkan fatwa bahwa vaksin AstraZeneca haram tapi boleh dipergunakan.
Menemui sejumlah pejabat yang mengurus vaksin, kami pun mendapatkan informasi bahwa pemerintah berharap Majelis Ulama mau menerbitkan fatwa halal. Ada kekhawatiran, status “haram”—meski produk akhir AstraZeneca tidak mengandung babi—bisa menghambat vaksinasi yang harus dilakukan dengan cepat. Apalagi, vaksin tersebut akan kedaluwarsa pada akhir Mei. Dengan rentang waktu injeksi pertama dan kedua selama 28 hari, vaksin AstraZeneca itu tentu harus segera digunakan.
Dari para pejabat pemerintah dan Majelis Ulama, kami mendapat informasi bahwa lobi juga dilancarkan kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Namun lagi-lagi upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Kabarnya, kondisi itu membuat Istana dan sejumlah menteri geleng-geleng kepala karena kehalalan vaksin masih dipersoalkan di tengah pandemi.
Menjelang deadline majalah ini, kami mendapat informasi dari seorang pejabat tinggi bahwa ada pengurus Majelis Ulama yang secara halus meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kursi komisaris badan usaha milik negara bagi petinggi organisasi kemasyarakatan itu. Kabar tersebut kami verifikasi ke sejumlah pejabat lain. Mereka pun membenarkan informasi tersebut.
Stefanus Pramono
Redaktur Pelaksana Majalah Tempo