#SeninCoaching
#Lead for Good: “Who do you think you are?”
Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
Pada peringatan World Water Day 22 Maret lalu, perhatian para aktivis dan pemerhati lingkungan di pelbagai belahan dunia tertuju pada Sadiman, di Desa Genang, Bukit Gendil, Wonogiri, Jawa Tengah. Media-media mainstream global seperti Reuters, South China Morning Post, TRT (Turkeys Public Broadcast Service), NTD Indonesia (berbasis di New York) dan lainnya serentak menyiarkan cerita tentang Sadiman, upaya-upayanya, ketulusannya, sehingga dunia menghargainya sebagai eco warrior.
Sadiman, kini 69 tahun, rupanya sejak 24 tahun silam telah merintis penghijauan dan merimbunkan wilayah perbukitan gersang di Gendil, Wonogiri, dengan pohon beringin dan sebagian ficus (orang setempat menyebutnya “bulu itik”). Total sudah sekitar 11 ribu pohon beringin yang ditanam Sadiman, di lahan sekitar 250 hektar.
Menurut Kepala Desa Genang Lanjar Riatmo, upaya-upaya Mbah Sadiman (julukannya di kampung) semuanya mandiri, swakarsa, tanpa minta ongkos dari desa apalagi mengharapkan anggaran pemerintah pusat. Hanya saat Mbah Sadiman merasa perlu bantuan tenaga, baru minta tolong – itu pun sangat jarang dia lakukan. Ia mungkin sungkan.
Orang-orang di desanya menganggap Mbah Sadiman “gila”, karena hasil jualan bibit-bibit tanaman buah sering langsung ditukarnya dengan bibit beringin. Sempat pula kambing peliharaannya dia lego untuk menebus bibit beringin. Respon Sadiman? “Biar saja, mereka kan masih ada yang percaya pohon beringin tempat tinggal mahluk halus,” jawab Sadiman dengan enteng, sembari tersenyum.
Wonogiri sejak sekian puluh tahun silam dikenal sebagai wilayah tandus. Hutan di kawasan perbukitan Gendil sempat terbakar akibat ulah orang-orang yang butuh lahan bercocok tanam. Ini berbahaya, pikir Sadiman, waktu itu. “Saya lantas berkata kepada diri sendiri dan bertekad, greget, untuk menanaminya kembali. Manusia ‘kan butuh air dan perlu udara segar untuk hidup.” Ia pilih beringin dan “bulu itik” karena dua jenis tanaman itu akar-akarnya mampu menahan air, mengamankan tanah agar stabil, tidak mudah longsor.
Sadiman selama 24 tahun berjalan tanpa bersepatu mengelilingi perbukitan dengan berbekal cangkul, golok, dan pikulan, mewujudkan niatnya. Sekali-sekali sambil uro-uro (bersenandung), tentang keikhlasan mengerahkan sumber daya (tenaga, pikiran, dan dana) untuk membela kepentingan banyak orang – kita bisa menganggap uro-uro-nya itu seperti jadi “mantra” untuk menyemangati diri sendiri.
Hasilnya? Sumber air bermunculan di bukit, parit-parit mengalirkan air segar ke lahan-lahan di bawahnya. Warga di desa-desa yang kelimpahan air Bukit Gendil belakangan bisa panen padi dua sampai tiga kali setahun – sebelumnya sekali setahun sudah bagus. Sekian ribu manusia yang terkait dengan ratusan hektar sawah dan kebun di beberapa desa hidup lebih bermartabat. Air segar juga disalurkan dengan pipa ke rumah-rumah penduduk.
Semua itu terwujud tanpa ada campur tangan, apalagi dana, dari lembaga pemerintah maupun LSM mana pun. Kalangan Muslim tentunya bisa menilai, Sadiman yang senang mengenakan topi ranger – bukan berpeci apalagi sorban, serta tidak tergoda menghakimi pihak lain – dengan tindakan nyata telah merealisasikan salah satu firman Tuhan, “…Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air…” (QS Al-Anbiya [21]:30).
Sadiman yang bekerja memulihkan hutan dan air sesuai tujuan penciptaan masing-masing, memang layak dinobatkan sebagai eco warrior oleh dunia. Ia menyemai, menumbuhkan, dan “memimpin” 11 ribu beringin untuk mendukung kehidupan puluhan ribu manusia.
Di Bumi ini, dalam skala pribadi yang merawat alam dengan peralatan sederhana, pengetahuan alamiah, tanpa penelitian canggih, tanpa sokongan pemerintah atau pun NGO, Sadiman tidak sendirian. Di Mongolia Dalam, China, ada Tububatu, 70 tahun, dan istrinya.
Usai pensiun, pasangan Tububatu sejak 2002 mendedikasikan diri mereka menanam pohon-pohon sacsaoul (haloxylon) di gurun pasir Badain Jaran, di tempat tinggal mereka.
Menurut tayangan South China Morning Post, pada tahun-tahun awal upaya mereka menumbuhkan sacsaoul — tananam yang bisa meredam kekeringan lahan dan menahan badai pasir — pasangan Tububatu dalam sehari harus bolak-balik 25 – 30 kali naik motor mengambil air untuk menyiram 100 bibit. Pada 2020, setelah ganti kendaraan 4-wheeler (motor dengan gandingan bak), satu trip bisa mengambil 48 galon air. Belakangan ini, gurun yang sudah mereka tanami, seluas 266 hektar, menjadi oasis.
Di Ejin Banner, sisi lain Mongolia Dalam, ada juga pasangan pensiunan Tobo Bartle dan Taoshen Chagan yang telah menanam 50 ribu sacsaoul selama 15 tahun dan menjadikan kawasan padang pasir tidak jauh dari rumah mereka itu menjadi oasis. Tobo Bartle sudah mengorbankan tujuh sepeda motor untuk mengangkut air, menyirami benih. Kabarnya, kata New China TV (milik pemerintah China), 90% sacsaoul yang mereka tanam berhasil tumbuh.
Di belahan lain Bumi, di New Zealand atau Scotland, juga di sudut-sudut Afrika, atau pulau-pulau selain Jawa di Indonesia, sepertinya dapat kita temukan orang-orang seperti Mbah Sadiman atau pasangan Tububatu. Dalam keterbatasan, mereka berupaya memulihkan fungsi pepohonan, hutan, dan sumber air sesuai tujuan-tujuan penciptaan Tuhan.
Mereka berbeda, bisa Anda nilai berseberangan, dengan orang-orang yang hilir mudik naik helikopter mengontrol konsesi tambang masing-masing, secara ektraktif mengelabui alam – dengan alasan demi kemajuan ekonomi – lalu menelantarkan sisa penambangan, merusak habitat dan ribuan manusia yang harus mengalami kepahitan sebagai dampaknya.
Apa sesungguhnya yang mereka upayakan? Apa identitas mereka dalam peradaban? Bagi Anda yang terbiasa melihat situasi menurut perspektif spiritual, mungkin juga akan mempertanyakan, bagaimana pula akuntabiltas mereka di mata Pemilik Alam Semesta?
Mereka memang tidak sama dengan Sadiman atau Tububatu – bukan pada helikopter dan konsesinya, tapi berbeda lebih karena perilaku dan pilihan tindakan. Sadiman di Bukit Gendil dan Tububatu di gurun Mongolia, setiap hari selama 20-an tahun, setiap saat menanam benih ke Bumi, dalam persepsi saya, adalah menancapkan bendera kemenangan batin.
Membangun identitas, menentukan siapa diri kita sesungguhnya di Bumi dan kualitas kepemimpinan, apa misi kita, ditentukan oleh kegigihan dan pilihan-pilihan tindakan kita setiap hari, di lahan kehidupan. Seperti dibuktikan Sadiman di Gentil dan pasangan Tububatu di Mongolia Dalam. Diiringi dengan pertanyaan, siapa saja yang dapat benefit melalui tindakan tersebut? Kehidupan siapa saja yang kita support lewat actions kita?
Bukankah Anda sudah merasakannya juga, betapa bungah manah (rasa bahagia sejati) setiap kita berhasil memenangi diri, memilih tindakan lebih terpuji, membangun kemenangan batin, ketimbang menggunakan waktu dan umur untuk nonton gosip di televisi, terbuai imajinasi Hollywood, diskusi di media sosial tentang artis atau sosok publik, dll?
Untuk meraih kemenangan batin, apalagi setiap hari, bisa counterintuitive – tapi di sinilah menariknya. Identitas kita selama ini seperti dibengkokkan oleh mitos-mitos yang diciptakan pihak-pihak lain, oleh sederet events yang tidak relevan dengan tujuan dan misi hidup kita, dan sebagiannya dibajak pula oleh persepsi kita yang salah tentang tv commercial. Ilusi.
Kalau tidak merasa perlu menancapkan kemenangan batin setiap hari, apakah Anda tidak mau membangun identias diri lebih baik? Apakah tidak merasa butuh ilmu menyirami kekeringan batin dan menanam kompetensi baru meningkatkan kemampuan menyiasati “badai gurun kehidupan”?
Sadiman dan Tububatu telah dilatih oleh alam untuk memperkuat leadership muscles masing-masing. Kita bisa membentuk otot-otot kepemimpinan dengan pelatihan yang terstruktur dan terukur, membentuk identitas diri, meneguhkan kemenenangan batin setiap hari melalui tindakan nyata untuk kepentingan para stakeholder.
Anda bisa mulai menantang diri sendiri dengan pertanyaan yang selalu mengusik saya, sebagaimana diajukan Marshall Goldsmith, #1 executive coach di dunia: “Who do you think you are?”
Mohamad Cholid adalah Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com) & Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment (GLA 360)
- Certified Global Coach Group Leadership Assessment & Coach
Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman