Oleh Idrus F. Shahab
Doctor Zhivago sebuah kisah tragis tentang seorang dokter-penyair yang hidup pada zaman yang salah. Suatu zaman manakala kehidupan pribadi tampak begitu tak berarti di hadapan revolusi yang sedang sibuk mempertahankan diri dan melindas musuh-musuhnya.
Banyak yang bilang Zhivago, tokoh utama dalam novel itu, merupakan personifikasi penulisnya sendiri, Boris Pasternak. Doctor Zhivago adalah sebuah novel terkenal di dunia yang memperoleh hadiah Nobel untuk Kesusastraan pada 1958. Pada musim panas 2009, saya kemudian mencari tahu di mana sang penulis pernah tinggal, menulis, dan menderita.
Di Peredelkino, kurang-lebih 20 kilometer barat daya Moskow, di sebuah rumah kayu bercat cokelat tua, berlantai dua, dengan jendela kaca besar, saya mencoba menyimak jejaknya.
Pertama-tama, tentu lewat jendela kaca besar yang memisahkan sekaligus menghubungkan hutan pinus dan pohon mapel di sekelilingnya dengan kehidupan pribadi penulis itu.
Seorang wanita yang kulitnya sepucat susu menyambut sambil meneruskan kesibukannya merajut sebuah sweater putih seukuran tubuhnya. Namanya Liudmila, umur 60-an tahun. Setiap orang yang berkunjung diminta membayar lima rubel dan mengisi buku tamu. Liudmila bercerita hampir tanpa ekspresi: menjelaskan bagian rumah satu per satu dalam bahasa Rusia.
Ruang makan di lantai satu menghadap matahari pagi, sebuah ranjang tempat penulis itu sakit dan mengakhiri hidupnya pada 1960, sebuah piano besar di ruang musik (Nyonya Pasternak seorang pianis), dan beberapa lukisan ayahanda Pasternak pada dinding (ya, ayahnya seniman lukis).
Menaiki anak tangga ke lantai dua, “kebekuan” Liudmila tampaknya mulai mencair. Seakan membaca pikiran sang tamu, ia melontarkan pernyataan yang mungkin paling disukainya. “Di situlah, dia menulis Doctor Zhivago,” katanya, tangannya menunjuk ke sebuah meja dari kayu oak tua, persis di tengah-tengah ruangan berukuran 8 x 8 meter persegi itu.
Di depan meja, agak menjorok ke arah dinding, ada sebuah almari buku dengan sederet buku berbahasa Rusia dan Inggris tersusun di atasnya.
Beberapa surat tanda dukungan dan ucapan selamat dari luar negeri tampak di antara buku, termasuk surat dari Ernest Hemingway, Alberto Moravia, dan Jawaharlal Nehru.
Sepuluh tahun, Boris Pasternak menyelesaikan novel yang dewasa ini telah beberapa kali diangkat ke layar lebar itu. Di Peredelkino, ia hanya mendengar karyanya diterjemahkan ke dalam dua puluhan bahasa asing. Bahkan kemudian menang hadiah Nobel —yang lantas harus ditolaknya karena tekanan penguasa Uni Soviet saat itu.
Ia mendengar kabar: semua ini tak lain dari permainan politik Amerika Serikat untuk mempermalukan Uni Soviet. Pasternak diam seribu basa. Sesekali, melalui kawan dekatnya, ia menerima kopi terjemahan novelnya dalam bahasa asing.
Sampai ajal menjemputnya, 30 Mei 1960, ia terus menyaksikan ironi: masyarakat internasional menerima karya-karyanya dengan tangan terbuka dan Rusia yang menutup pintunya rapat-rapat. Ia tak pernah tahu bahwa 27 tahun setelah kematiannya, ketika Rusia di bawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev, ‘Doctor Zhivago’ diterbitkan di tanah airnya sendiri, dalam bahasa Rusia.
Setahun kemudian pemerintah yang sama merehabilitasi namanya. Yang ia selalu rasakan mungkin hanya satu: betapa tak berdayanya seorang warga di hadapan mesin politik yang mengatasnamakan kepentingan Negara.