Oleh Suryo Winarno
Maret 2021 adalah waktu Menteri Perindustrian, Agus Ginanjar Kartasasmita melakukan peletakan batu pertama pabrik susu cair dan kental manis di Cikarang. Pabrik seluas 25 hektar milik perusahaan susu Belanda tersebut akan memproduksi 244 juta liter susu cair dan 476 ribu ton krimer kental manis per tahun.
Investasi untuk membangun pabrik dengan fasilitas pendukungnya sebesar Rp 3,8 triliun akan menyerap tenaga kerja 848 orang sebab pabrik memakai teknologi modern dan ramah lingkungan. Sementara bahan baku 80 persen diimpor karena pasokan susu segar domestik hanya mencukupi 20 persen.
Sebelumnya, satu pabrik serupa telah dibangun di Kawasan Industri Kendal dan satu pabrik kental manis di Kawasan Industri Modern Tangerang. Kedua pabrik tersebut dirintis pada 2019. Kini kedua pabrik tersebut sudah operasional secara komersiil.
Prospektifkah kedua produk itu di Indonesia ditengah kemiskinan meningkat akibat resesi ekonomi ? Pengelola bisnis industri susu tampaknya cerdik membaca potensi pasar Indonesia tanpa melihat kemiskinan sebagai faktor kendala. Namun kemiskinan dijadikan peluang usaha dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
POTRET KEMISKINAN
Bagaimana potret kemiskinan di Indonesia? Selama sepuluh tahun terakhir (2011-2020) angka kemiskinan cenderung turun. Secara berturut-turut tahun 2011, 2012, 2013, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, 2019, 2020, angka absolut kemiskinan sebesar 30,01 juta, 28,71 juta, 28,6 juta, 27,73 juta, 28,51 juta, 27,76 juta, 26,58 juta, 25,67 juta, 24,79 juta, 27,55 juta orang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menyebutkan sepuluh daerah miskin meliputi Papua (26,8%), Papua Barat (21,70%), Nusa Tenggara Timur (21,21%), Maluku (17,99%), Gorontalo (15,59%), Aceh (15,43%), Bengkulu (15,30%), Nusa Tenggara Barat (14,23%), Sulawesi Tengah (13,06%), Sumatera Selatan (12,56%).
Kriteria masyarakat miskin menurut BPS, antara lain tidak sanggup membayar beaya pengobatan di puskesmas, tidak memiliki tabungan/aset yang mudah dijual minimal Rp 500.000, kelompok buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan memiliki pendapatan dibawah Rp 600.000,00 per bulan.
Selain itu, sumber air minum berasal dari air hujan, air sungai, sumber penerangan rumah tangga bukan listrik, membeli satu stel pakaian baru per tahun, luas lantai rumah tempat tinggal kurang dari delapan meter persegi per orang, jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah, dan tidak punya fasilitas buang air besar.
TUMBUH
Melihat kemiskinan tersebut, mungkin konsumsi susu dianggap cenderung rendah. Realitanya ? Konsumsi susu cair dan kental manis per kapita per tahun memiliki tren naik selama lima belas tahun (2003-2017). Tahun 2003 konsumsi susu cair 0,16 liter, tahun 2007 konsumsi susu cair 0,22 liter, tahun 2012 konsumsi susu cair 0,37 liter. Selanjutnya 2015 konsumsi susu cair 0,60 liter, dan 2017 konsumsi susu cair 0,89 liter.
Pada periode yang sama konsumsi kental manis 0,97 liter, konsumsi kental manis 1,41 liter, konsumsi krimer 1,08 liter. Selanjutnya 2015 konsumsi kental manis 1,43 liter, dan 2017 konsumsi krimer kental manis 1,84 liter.
Yang menarik konsumsi kental manis berkaitan dengan kecukupan gizi. Sebanyak 35,2 persen anak minum kental manis memiliki gizi lebih, 26,7 persen anak kategori gizi kurang, 13,4 persen anak mengalami gizi buruk. Artinya kental manis dikonsumsi masyarakat dari golongan anak mempunyai gizi lebih sampai dengan anak mengalami gizi buruk
Mengapa industri susu bisa tumbuh positif ? Inovasi pemakaian susu bisa untuk menambah cita rasa industri makanan. Kental manis digunakan industri sebagai bahan pembantu citarasa makanan dan minuman. Mulai bahan pelengkap citarasa martabak, pemberi citarasa minum es campur, bahan pembantu industri permen, pengganti santan menambah cita rasa kolak. Sekedar informasi industri makanan dan minuman UMKM mencapai puluhan juta unit.
Akhirnya, inovasi pemakaian susu untuk bahan baku berbagai makanan dan minuman menciptakan pertumbuhan penjualan yang positif meski kemiskinan mendera masyarakat akibat resesi ekonomi berjalan empat kuartal. Selain itu, industri ini menciptakan lapangan kerja kelas bawah.