Oleh Idrus F. Shahab
Ia Soeharto (1921 – 2008). Ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya dulu, manakala demokrasi menimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja kecil di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunis mendominasi panggung-panggung kekuasaan. Dan sikapnya yang tak pernah beringsut dari doktrin NKRI dan tidak toleran terhadap aspirasi daerah itu sekonyong-konyong jadi alternatif ketika separatisme mulai menggejala di Sumatera, Maluku, Papua, dan belahan lain di negeri ini.
Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto tentu saja mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat baik maupun buruk— terkadang ia melakukannya silih berganti. Namun ada proses yang terus-menerus berlangsung di masa pemerintahan yang panjangnya hanya bisa dikalahkan oleh pemimpin Kuba yang telah berpulang itu, Fidel Castro. Yaitu sentralisasi, bahkan kemudian personalisasi, dengan sosok Soeharto sebagai nukleus sentral seluruh negeri.
Proses sentralisasi bisa tercium sejak dini. Tepatnya tatkala ia menyederhanakan partai-partai–kantong-kantong kekuasaan di luar pemerintah–peninggalan demokrasi liberal yang dibikin lumpuh Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. Pada Pemilu 1971, seperti ditulis Herbert Feith dalam “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia,” partai yang jumlahnya puluhan itu diringkas menjadi 10 partai. Dan segenap aturan pemilu digiring ke satu tujuan: kemenangan Golkar.
Mulanya, para pencinta demokrasi pendukungnya, termasuk para mahasiswa Angkatan 66 yang menurunkan Soekarno sebelumnya, sama sekali tidak menaruh curiga. “Kami tahu dia tentara yang tidak senang politik,” kata Arief Budiman, salah seorang aktivis waktu itu.
Tapi pengikisan kekuasaan di luar nukleus pemerintahan Orde Baru ternyata tidak berhenti. Sebuah kejadian pada pertengahan 1970-an lantas mengantar pengikisan selanjutnya: sepuluh partai diringkas menjadi dua partai dan satu golongan.
Peristiwa Malari (1974) menghadang pemerintah yang berencana mewujudkan gagasan Ny Tien Soeharto, Taman Mini Indonesia Indah, dan mulai diroyan korupsi. Tantangan para mahasiswa kali ini dihadapi dengan tangan besi. Wajah pemerintah yang dulu toleran dan terbuka itu pun digantikan wajah galak dan represif. Beberapa tahun kemudian, 1978-1979, tantangan yang lebih frontal dari mahasiswa dijawab dengan NKK/BKK–larangan berpolitik bagi para mahasiswa di kampus.
Pada 1980-an, sentralisasi kekuasaan yang berjalan selama satu periode itu pun mencapai tahap yang cukup mencengangkan: nukleus itu melebar. Putra-putri Presiden Soeharto yang sudah mulai besar itu menjadi bagian dari inti sel dan terjun ke dunia bisnis berbekal ”hak-hak istimewa” sebagai anak presiden. Sebuah edisi majalah “Forbes” memberitakan, setelah krisis moneter 1997, kekayaan Soeharto dan keluarganya mencapai US$ 16 miliar.
Dalam memoarnya yang tebal, “From Third World to First”, mendiang Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menyebut, “Saya tidak mengerti mengapa anak-anaknya perlu menjadi begitu kaya.” Dalam buku yang sama, Lee menyayangkan Soeharto telah mengabaikan nasihat mantan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Benny Moerdani pada akhir 1980-an agar ia mengekang gairah anak-anaknya untuk mendapatkan aneka privilese bisnis.
Puncak sentralisasi yang sangat nepotistis itu akhirnya tampil dalam bentuk yang begitu transparan pada 1997: ia terpilih untuk ketujuh kalinya, dan itu berarti hampir separuh dari usianya dihabiskan sebagai presiden negeri ini. Dalam Kabinet Pembangunan VII, Siti Hardijanti Rukmana, putri sulungnya, diangkat menjadi Menteri Sosial. Dan manakala jangkauan wewenang yang diberikan kepada seorang Menteri Sosial kemudian terlihat begitu luas, orang pun mulai membayangkan sebuah suksesi yang tidak berbeda dengan peristiwa keluarga: sang putri sulung mengambil alih peran ayahnya.
Kelewat lama berkuasa, Soeharto dan lingkaran kecil sahabat serta keluarga dekat tumbuh menjadi kalangan yang paling bertanggung jawab atas aneka gejala sosial ekonomi di negeri ini: represi, keberhasilan model kesejahteraan, korupsi yang demikian mengerikan, juga kehancuran ekonomi akibat krisis moneter 1997-1998.
Sayang sekali kalau kita tidak memetik pelajaran dari perjalanan sejarah kontemporer ini dengan bijak.