Zaman berubah cepat. Dahulu produsen informasi publik terbatas, hanya dari berita televisi, radio dan pers cetak sebagai alat komunikasi massa. Tapi kini, semua orang dengan beragam platform digital bisa menjadi wartawan atau produsen informasi yang bebas dan lebih luas diakses publik lewat dunia digital.
Dalam satu menit saja, jangan kaget, begitu banyak hal terjadi di dunia internet. Ada 41,6 juta pesan WA, ada 4,5 juta yang gunakan situs pencari Google, ada 4,5 juta orang nonton YouTube, lalu ada 1 juta orang login Facebook, 188 juta email, 511,400 pesan Twitter.
Karena riuhnya melibatkan jutaan orang, tanpa sadar mereka meninggalkan berjuta jejak digital per menit. ”Jadi, hati-hati, biasakan koreksi sebelum tinggalkan jejak digitalmu di dunia digital setiap menit. Karena kalau terlalu sering nebar jejak negatif, itu memperburuk masa depanmu,” ujar Ahmad Nasir, CEO DOT Studio, sebuah perusahan content creator.
Jarimu kini harimaumu, lanjut Nasir. ”Jangan sampai gara-gara buruknya jejak digital yang Anda tinggal, bikin sial di masa depan. Sebab, banyak manajer HRD saat ini mengecek rekam jejak pelamar di dunia digital ketika ia melamar kerja. Hati-hati jangan asal posting,” jelasnya.
Ahmad Nasir mengurai info tersebut saat tampil dalam webinar yang digelar Kementerian Kominfo bersama Debindo untuk wilayah Kabupaten Magelang, 11 Juni lalu dengan 150-an peserta lintas profesi.
Dimoderatori Tomy Romahorbo, webinar bertema ”Komunikasi Masa yang Sehat di Era Digital” itu juga menampilkan narasumber lain, yakni Denik Iswardani Witart (dosen Universitas Budi Luhur), Yoshe Angela (konsultan dari Kaizen Room), Muhamad Mustafed dari Universitas NU Yogyakarta dan dan key opinion leader Reza Tama.
Salah satu hal yang tidak nyaman menyangkut citra netizen Indonesia dewasa ini, menurut Denik Iswardani, yakni hasil survei Microsoft yang menyebut netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Citra itu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memulihkannya, antara lain dengan mengubah perilaku bergaul di dunia maya.
”Ada babi ngepet yang belum terang infonya, sudah viral. Kalau semua menyadari hal seperti itu sebagai tanggung jawab bersama, citra ke depan rasanya akan lebih mudah dipulihkan,” ujar Denik.
Tanggung jawab dalam media komunikasi massa, tentu punya pranata masing-masing. Prof. Bagir Manan, mantan ketua Dewan Pers, menyatakan bahwa pers bertanggungjawab untuk tetap bisa sehat. Ciri khas pers yang sehat adalah bebas dan merdeka menyampaikan pemberitaannya tanpa tekanan, baik dari kekuasaan maupun pemilik modal. Tanpa syarat itu, pers tidak bisa dikategorikan sebagai pers sehat.
Sedangkan warga netizen, dalam menyebarluaskan informasi konten yang mereka buat, ada tatakrama yang mesti dihormati bersama sebagai sebuah netiked. ”Kalau netizen bisa menjaga tatakrama, tidak akan muncul citra netizen Indonesia seburuk hasil survei Microsoft tempo hari,” papar Muh. Mustafed dari Universitas NU Yogyakarta, serius.
Sementara itu, menurut Yoshe Angela dari Kazien Room, hadirnya beragam aplikasi dan platform di dunia digital membuat semua orang bisa menjadi content creator yang menarik dan produktif. Kini tinggal konten yang kita posting itu bermanfaat atau malah berpeluang merusak kebhinekaan kita dalam berbangsa.
”Kuncinya, biasakan selalu membikin second opinion pada senior dan pelaku lama yang lebih berpengalaman. Jangan berpikir ’yang penting viral’ tapi tak bermanfaat, mubazir aja kontennya,” ungkap Yoshe.
Jadi? Mengingat begitu cepatnya perubahan media massa digital saat ini, para pengguna yang lintas generasi mesti mau selalu meng-upgrade informasi dan skill hardware software dunia digital.
”Kita juga harus mau terus belajar. Karena, ke depan begitu banyak peluang kerja digital yang muncul dengan ketrampilan baru itu. Sayang kalau tidak kita ambil peluangnya, karena skill digital kita belum di-upgrade,” pesan Reza Tama.