Indonesia terkenal sebagai negara yang masyarakatnya ramah. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Microsoft, warganet Indonesia menduduki peringkat atas yang tidak ramah alias tidak sopan di ruang digital.
Masalah budaya bermedia tersebut menjadi salah satu bahasan dalam webinar literasi digital yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Sragen, Senin (21/6/2021).
Literasi digital ini merupakan program pemerintah dalam mendukung percepatan transformasi digital agar masyarakat makin cakap digital dalam memanfaatkan internet demi menunjang kemajuan bangsa.
Pada kegiatan yang dimoderatori oleh Kneysa Fahreza ini, hadir sejumlah narasumber: Nurkholis, Muhamat Taufik, Aidil Wicaksono, Aditia Purnomo, serta key opinion leader Oka Fahreza.
Salah satu narasumber, Aidil Wicaksono, menyampaikan kebutuhan masyarakat yang semakin bertambah di dunia digital. Mulai dari hiburan, belajar, hingga bekerja. Masyarakat dipaksa melek digital, berkenalan dengan banyak hal baru di ruang digital.
“Melihat kebiasaan yang juga terus berubah di dunia digital, adanya tren-tren baru ini akan terus meningkat. Namun ternyata dari seiring tumbuhnya perubahan, rupanya ada hambatan dalam bermedia. Dalam proses literasi digital, yang menjadi poin utama hambatan di Indonesia adalah budaya,” ujar Aidil, dalam paparannya tentang digital culture.
Aidil menjelaskan, digital culture menjadi prasyarat menuju transformasi digital. Di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 50 persen penduduknya yang aktif menggunakan internet. Bahkan, menurut Aidil, warga Indonesia cukup konsumtif menggunakan internet.
Namun dalam meraih hak digital seperti mengakses internet dan informasi dan berekspresi di dunia digital serta meraih keamanan dalam bermedia diperlukan komunikasi yang baik juga.
“Kalau sekarang, seiring dengan berkembangnya teknologi digital dan media sosial, istilah jarimu adalah harimaumu ini penting diperhatikan. Sebab, ada banyak hal terjadi tapi kita tidak punya mindfulness communication. Yakni, komunikasi yang penuh perhatian yang melibatkan penerapan prinsip-prinsip perhatian dalam berhubungan dengan sesama,” jelas Aidil, kepada peserta webinar.
Menurutnya, masyarakat Indonesia juga perlu menerapkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di ruang digital. Yakni seperti nilai cinta kasih dan saling menghormati, nilai kesetaraan terhadap sesama, mengutamakan kepentingan bersama, bersikap demokratis, dan gotong royong.
“Sebab, dampak rendahnya terhadap nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika bisa membuat pengguna internet tidak mampu memahami batasan kebebasan berekspresi, sehingga menimbulkan hal negatif di ruang digital,” lanjutnya.
Untuk menghindari hal-hal tersebut, menurut Aidil Wicaksono, diperlukan pola pikiran yang baru dalam membangun budaya digital atau digital culture.
”Yakni, bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan kontribusi untuk mencapai kepentingan bersama. Kemudian mengubah budaya lama ke budaya yang baru yang lebih bermanfaat, serta memanfaatkan hal yang sudah ada sebelumnya dengan membentuk hal baru,” pungkas Aidil.