Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mempengaruhi hubungan industrial dan arah hukum ketenagakerjaan Indonesia di masa mendatang. Konsep padat karya sudah tak dapat dipertahankan lagi, karena format hubungan kerja sudah banyak berubah.
Demikian dikemukakan Ketua Badan Kaderisasi Nasional PBNU Sultonul Huda pada acara webinar literasi digital bertema ”Ketenagakerjaan dalam Ekonomi Digital Global” gelaran Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Demak, Jawa Tengah, 10 Juni lalu.
Acara virtual yang dimoderatori entertainer Bobby Aulia itu menghadirkan narasumber lain: Nur Kholis (Staf Ahli Kapolri), Rizki Ayu Febriana (Kaizen Room), Rhesa Radyan Pranastiko (Kaizen Room), dan enterpreneur Reza Tama selaku key opinion leader.
Dalam paparan yang bertajuk ’Ketenagakerjaan dan Perkembangan Teknologi’ itu, Sultonul menyatakan bahwa revolusi industri 4.0 tidak akan menjadikan upah buruh rendah sebagai daya tarik untuk investasi. Apalagi, pemanfaatan teknologi akan banyak menggeser tenaga kerja manusia.
”Revolusi industri 4.0 menimbulkan pengangguran dan kemiskinan massal karena hilangnya dukungan dari pemerintah. Karena alasan ini, serikat buruh mencoba memboikot digitalisasi 4.0 dengan mencoba memaksa perusahaan besar untuk kembali mempekerjakan buruh yang telah mereka gantikan dengan mesin,” ujar Sultonul.
Buruh di Indonesia, lanjut Sultonul, memiliki kondisi tingkat literasi digital yang tidak merata. Sehingga masih terdapat sejumlah kelompok yang tidak memiliki akses kepada informasi lapangan kerja dan akhirnya menjadi pengangguran.
”Jangan berasumsi bahwa setiap orang memiliki keterampilan digital yang tepat. Meskipun generasi muda seperti Milenial dan Gen Z biasanya tumbuh dengan teknologi, bukan berarti mereka paham benar bagaimana bertanggung jawab dalam pemanfaatannya,” papar Sultonul.
Sultonul menambahkan, saat ini industri sangat dipengaruhi oleh keterampilan digital. Banyak perusahaan bersaing satu sama lain dalam hal penerapan program digital.”Penting bagi perusahaan untuk mengembangkan dan melatih karyawan jika ingin perusahaan menjadi kompeten secara digital,” tegas Sultonul.
Bagi Sultonul, meningkatkan keterampilan staf dengan kemampuan digital tak hanya berguna untuk kinerja karyawan, tetapi juga berperan besar dalam transisi digitalisasi dalam perusahaan untuk dapat bersaing dengan kompetitor. ”Penerapan kebijakan pelatihan kemampuan TIK untuk mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia,” pungkas Sultonul.
Sementara narasumber Nur Kholis lebih menyoroti tentang hak dan tanggung jawab bermedia digital dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Nur Kholis, seseorang harus menyadari baik hak mereka sebagai warga digital maupun tanggung jawabnya.
”Sebagai warga digital, masyarakat dapat menikmati berbagai kemungkinan yang dibuka oleh teknologi (hak-hak mereka), tetapi mereka juga diharapkan mengikuti aturan terkait dengan penggunaan teknologi (tanggung jawab mereka). Warga digital yang baik menggunakan teknologi secara tepat dan etis,” jelas Staf Ahli Kapolri Bidang HAM itu.
Menurut Nur Kholis, setidaknya ada tiga masalah umum terkait kejahatan dunia digital. Pertama, kasus cyberbullying di media sosial; kedua, plagiarisme di sekolah dan perguruan tinggi; dan ketiga, pengunduhan musik dan video secara ilegal.
Jenis perilaku tersebut tidak pantas dilakukan para pengguna media digital lantaran melanggar hak orang lain. Bagaimanapun, aktualisasi warganegara dalam bermedia digital berada dalam batas-batas formal yang berkaitan dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya dalam bingkai negara.
Nur Kholis menambahkan, sebagai pengguna teknologi digital, warga juga memiliki hak yang dijamin Konstitusi dan Undang-undang terkait di bidang Hak Asasi Manusia. ”Kewajiban dan tanggung jawab yang dilalaikan atau tidak dijalankan memiliki implikasi hukum yang diatur dalam berbagai aturan pidana,” tegas Nur Kholis.