Senin, November 18, 2024

Pandemi, urgensi kolaborasi wisata dan teknologi

Must read

Pariwisata merupakan kekayaan Indonesia yang patut dibanggakan, khususnya di bagian wisata alam. Hal ini didukung oleh geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau. Namun kondisi pandemi Covid-19 membuat wisatawan urung berkunjung, sehingga diperlukan inovasi agar wisata tetap berjalan. 

Pariwisata di era transformasi digital ini menjadi topik pembicaraan dalam webinar literasi digital yang dipandu oleh Nabila Nadjib, Jumat (2/7/2021). Hadir juga para pemateri yang menyuguhkan tema diskusi dengan perspektif empat pilar literasi digital: digital culture, digital safety, digital ethic, dan digital skill. Para pemateri tersebut adalah Nuralita Armelia (Kaizen Room), Jota Eko Hapsoro (Founder Jogjania.com), Ragil Triatmojo (blogger), Novitasari (dosen Universitas Tidar), serta key opinion leader Venabella Arin (Dimas Diajeng DIY 2018). 

Jota Eko Hapsoro menyampaikan permasalahan pariwisata dengan tinjauan dari sudut digital skill. Yakni, bagaimana kita bisa membuat wisata itu tetap ada meski pengunjungnya tidak datang langsung ke tempat wisata. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan inovasi dengan memanfaatkan basis teknologi digital. 

“Saat ini wisata bukan cuma bagaimana menarik orang datang, tetapi bagaimana melangsungkan bisnis pariwisata. Cara ini bisa ditempuh misalnya dengan membuat aplikasi game dengan latar belakang tempat wisata. Atau, bisa juga dengan virtual tour di mana pengunjung bisa merasakan kondisi atau suasana di tempat wisata tanpa harus mengunjungi tempatnya. Dengan alat virtual reality yang tadinya hanya untuk teknologi di dalam ruangan dan skala kecil, kini banyak juga yang digunakan untuk virtual tour. Tinggal bagaimana kita mengemas dan menemukan pasarnya,” jelas Jota.

Atau, dari segi lainnya, wisata dan teknologi digital bisa dibuat sebagai pariwisata digital creative. “Bisa dari segi kuliner, oleh-oleh, dan kerajinan tangan. Bisnis wisata bisa jalan dengan hal-hal itu. Atau mungkin dengan membuat paket pelatihan kreatif, membuat batik. Alat bisa dikirimkan sedangkan pelatihannya secara online,” imbuh Jota. 

Sementara itu, dalam ranah etika, Nuralita Armelia, menyambung bahwa masyarakat Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah terhadap wisatawan. Namun sayangnya label tersebut cukup membuat tercengang ketika survei yang dilakukan oleh Microsoft pada 2020, bahwa di ranah digital Indonesia masuk sebagai negara dengan warga yang tidak ramah saat di dunia maya.

“Kemungkinan penyebabnya, warga digital Indonesia merasa anonim di ruang maya. Membuat mereka merasa leluasa dalam berekspresi, sehingga tak mengindahkan lingkungan. Kemudian kebiasaan menyebar hoaks bisa menjadi pelabelan tak ramah,” ujar Nuralita.

Nuralita lalu mengajak warga digital untuk menjaga etika meskipun di ruang digital, agar predikat ramah itu juga bisa lekat sebagai karakter bangsa. Yakni dengan cara kreatif dan produktif dalam menggunakan teknologi di ruang digital. “Yang harus diingat, aktivitas di internet itu seperti di dunia nyata. Jadi mulai sekarang, yuk, perhatikan lagi etika digital agar tetap nyaman dalam menggunakan internet.”

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article