Masalah keagamaan masih menjadi topik sensitif, bahkan di media sosial sekalipun. Oleh sebab itu, diperlukan literasi digital untuk menumbuhkan toleransi terhadap warga digital, baik di koridor keagamaan maupun interaksi sosial.
Dakwah agama yang toleran menjadi topik di webinar literasi digital yang terselenggara untuk masyarakat Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 5 Juli lalu yang dipandu oleh entertainer Bobby Aulia. Kegiatan ini merupakan rangkaian program nasional literasi digital yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada Mei 2021. Program ini digulirkan untuk mendukung percepatan transformasi digital menuju masyarakat yang cakap digital.
Kegiatan kali ini menghadirkan sejumlah narasumber: M. Yusuf Chudloro (pengasuh Ponpes API Magelang), Pendeta Jacky Manuputty (sekretaris umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia), Novi Kurnia (dosen Ilmu Komunikasi UGM), Novita Sari (aktivis Pemuda Lintas Agama), serta key opinion leader Reni Risty (presenter TV).
Novi Kurnia dalam paparannya mengatakan, kekayaan dan keragaman Indonesia mulai dari budaya, agama, bahasa, ciri fisik dan lainnya melahirkan tantangan tersendiri, baik di dunia nyata maupun dunia digital. Persoalan yang kerap ditemukan di media sosial adalah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, termasuk soal keagamaan.
“Oleh sebab itu, penting bagi tokoh agama mengajak warga digital untuk menghindari ceramah keagamaan dan konten-konten agama yang mengandung ujaran kebencian maupun informasi bohong,” jelas Novi. Selanjutnya, menjaga toleransi dinilai penting untuk menjaga kesatuan dan kebersamaan di ruang digital agar tercipta rasa aman dan nyaman.
“Dalam perspektif aman digital, menjaga toleransi agama memang tantangan bagi pengguna digital secara umum serta tokoh agama yang menjadi panutan masyarakat. Memperhatikan dimensi aman digital terkadang lebih penting daripada mengejar nyaman saja,” imbuh Novi.
Kompetensi dalam meraih keamanan digital itu sendiri adalah mampu memahami konsep dan mekanisme proteksi digital. Memiliki empati untuk saling melindungi keamanan pengguna digital lainnya, salah satunya dengan tidak membocorkan informasi pribadi orang lain. Di era digital, pengguna diharapkan mampu memastikan keamanan digital dan memperbarui keamanan digital.
Sementara kaitannya dengan keagamaan di media digital adalah dengan menumbuhkan toleransi keagamaan. Pengguna harus mampu menyeleksi informasi, memverifikasi dan mengevaluasi informasi yang sekiranya memiliki muatan negatif.
“Jika menemukan informasi yang meragukan, pahami konteksnya. Selain itu, pengguna juga hendaknya memproduksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi menciptakan konten-konten yang positif,” lanjut Novi, yang juga koordinator nasional Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi).
Kompetensi aman bermedia digital itu pun berkaitan dengan digital skill pengguna media digital. Seperti dikatakan Novita Sari dalam paparannya, literasi digital harus dimiliki untuk menggunakan ruang digital.
“Kompetensinya yaitu dengan mampu memahami apa yang kita akses, serta mengevaluasi data dan informasi secara bijak dan cermat. Mampu memproduksi dan menyunting konten digital untuk tujuan baik. Mampu membagikan informasi dengan mempertimbangkan siapa yang akan mengakses informasi tersebut. Berpartisipasi dengan memanfaatkan media digital untuk berdaya dan bernilai secara bersama-sama. Serta berkomunikasi dan berkolaborasi secara etis dengan warganet lainnya,” papar Novita.
Dalam perspektif psikologi, Novita mengatakan, ketika menerima informasi jangan serta merta percaya apa pun yang kita dengar dan baca. Sebab suatu informasi atau cerita itu terdiri dari aku, kamu, dan kebenaran. Pada intinya, saat menerima informasi jangan hanya dari satu sudut pandang, cermati dan amati informasi sebelum membagikannya ke publik.