Sabtu, November 16, 2024

Menjawab tantangan dan peluang e-market

Must read

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menyebut dampak Covid-19 pada pelaku usaha: mobilitas harian di tempat kerja turun 16,5 persen, 4 dari 10 perusahaan tidak bisa beroperasi seperti biasa, pertumbuhan ekonomi turun 2,07 persen. Pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan pendapatan di sebagian sektor usaha.

”Lantas, apakah e-market dapat menjadi alternatif pasar?” Itu pertanyaan yang dilontarkan dosen FEB UGM Traheka Erdyas Bimanatya saat berbicara dalam webinar literasi digital bertema ”Mengenalkan Produk Lokal ke Pasar Internasional Melalui e-Commerce” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, 21 Juni lalu. 

Acara virtual yang dipandu oleh moderator Dennys Septiana itu juga menampilkan narasumber Septa Dinata (CEO Pasar Desa), Gervando Joerista Leleng (Partnership Gudang Ada), Mathori Brilian (aktor dan budayawan digital Kali Opak), dan seniman Ones selaku key opinion leader.

Dalam paparan yang berjudul ”Komoditi dan Produk Lokal dalam e-Market: Peluang dan Tantangan” itu, Erdyas mencoba menjawab pertanyaan yang dibuatnya sendiri. Menurutnya, perubahan preferensi belanja ”tatap muka” konsumen dan semakin akrabnya masyarakat dengan online shopping berpengaruh pada pola belanja masyarakat.

Nielsen Global Online Shopping Study (2021), kata Erdyas, menunjukkan selama pandemi terdapat sedikitnya 27 persen responden yang pertama kali mencoba berbelanja secara online. Sebelum pandemi hanya ada 9 persen responden dalam kategori ini.

”Sedangkan Survei Sosial Demografi Dampak COVID-19 BPS (2020) memperlihatkan sedikitnya 31 persen responden di Indonesia meningkatkan akivitas belanja online-nya,” tambah Erdyas.

Lebih jauh Erdyas mengungkapkan, ada sejumlah alasan kenapa masyarakat mulai beralih ke belanja online, sebagaimana dipaparkan hasil riset Nielsen Clicks Study selama 2018-2020. 

”Alasan mengapa belanja online: harga lebih murah (67 persen), dapat belanja setiap saat (48 persen), proses pembayaran mudah (47 persen), potongan harga dan promosi (39 persen), keamanan data pribadi (38 persen), kemudahan akses internet (38 persen), kualitas produk baik (37 persen), proses pengiriman barang baik (31 persen), produk hanya tersedia online (30 persen),” papar Erdyas.

Perubahan preferensi belanja masyarakat global terhadap online shopping memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk memasarkan produk melalui e-market. Meski begitu ada sejumlah tantangan terkait hal itu.

”Baru sekitar 6-7 persen barang yang dijual di marketplace berasal dari UMKM dan produsen lokal. Selebihnya merupakan barang impor. Kemudian 70 persen produk-produk e-commerce itu kebanyakan produk ekonomi kreatif. Tetapi hanya 10 persen produk buatan Indonesia,” jelas Erdyas.

Tidak mudah bagi pelaku usaha lokal untuk beralih ke dunia digital. Erdyas mencatat beberapa problem yang dihadapi pelaku usaha: rendahnya literasi digital, terbatasnya akses pelatihan, inovasi produk kurang, literasi finansial rendah, kurangnya pengetahuan strategi pemasaran digital, terbatasnya anggaran dan pengetahuan adopsi teknologi.

Meski begitu, Erdyas tak ingin para pelaku usaha pesimistis dan berhenti mengupayakan solusi. ”Mereka bisa mencari informasi dan belajar dari situs-situs tutorial online marketing, ataupun mengikuti training dan workshop yang diadakan oleh Kominfo,” tegasnya.

Pasar digital bagi aktor Mathori Brilian dilihatnya sebagai sebuah peluang sekaligus tantangan. Peluang karena platformnya non fisik, tidak ada istilah ’tutup toko’, menghemat biaya modal dan iklan, memiliki jaringan luas konsumen.

”Tantangannya: memiliki skill pada sistem digital, memahami segmentasi pasar lebih detail, keamanan sistem transaksi online, juga adanya penipuan dengan beragam modus,” jelas Brilian.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article