Merebaknya fenomena ”online content creator” seolah menjadi hal lumrah sebagai sarana eksis sekaligus mata pencaharian baru bagi jutaan pengguna media sosial. Sayangnya, demi meningkatkan popularitas, tak jarang content creator melakukan segala cara dalam memproduksi konten demi menarik perhatian publik sehingga memicu kontroversi.
Salah satu pemicu kontroversi itu biasanya ketika konten yang dibuat melanggar etika, baik tentang isinya, hak ciptanya, maupun privasinya.
”Saat membuat konten berkaitan dengan sejarah dan budaya, kita harus berpikir betul bahwa yang kita buat bisa memiliki dampak besar. Sebab bicara sejarah dan budaya itu berkaitan erat dengan adat kebiasaan suatu masyarakat, sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu. Jadi bukan ngarang atau opini sendiri,” ujar Denik Iswardani Witarti, dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur dalam webinar literasi digital dengan topik ”Sejarah dan Budaya Lewat Konten Digital” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (18/6/2021).
Dalam acara yang dipandu moderator Zacky Ahmad serta Juliet Georgiana sebagai key opinion leader itu, Denik menuturkan, membuat konten sejarah perlu melibatkan sumber terpercaya untuk penjelasan dalam konten itu. Jika sulit menemui sejarawan atau budayawan, content creator bisa menemui komunitas atau orang lokal yang memang bergelut dan memiliki pengetahuan tentang sejarah dan budaya itu.
“Perhatikan juga soal etika dan perilaku dalam konten itu. Jangan sampai karena kita tidak memahami sejarah kemudian konten itu memicu kontroversi. Misalnya, saat dulu ramai kasus Syahrini yang berfoto di monumen Memorial Holocaust Hitler di Berlin Jerman, lalu diunggah di Instagramnya,” kata Denik mencontohkan.
Denik meyakini Syahrini pada medio 2018 saat berlibur ke Berlin itu tak bermasud menghina atau tak berempati dalam konten tersebut. Namun diduga karena bahasa dan unggahannya di konten itu dianggap tak selaras, Syahrini pun akhirnya dihujat, bahkan sampai diberitakan media internasional sebelum akhirnya menghapus unggahannya.
Saat itu Syahrini di depan monumen Memorial Holocaust atau Memorial to The Murdered Jews of Europe menuliskan, “Bagus ya, di tempat Hitler bunuh-bunuhan dulu,” dalam rekaman video sepuluh detik yang diunggahnya.
Memorial Holocaust atau Memorial to The Murdered Jews of Europe yang terletak di Berlin adalah monumen yang dibangun untuk memperingati terbunuhnya sekitar 6 juta Yahudi di Eropa akibat kekejaman Nazi.
Dalam webinar yang menghadirkan narasumber seperti Zahid Asmara (Film Maker), Yoshe Angela (Kaizen Room), dan Muhammad Mustafied (LPPM-UNU Yogyakarta) itu, Denik juga membeberkan pentingnya orisinalitas sebagai bagian etika membuat konten.
“Sekecil apa pun konten yang kita produksi itu sudah menjadi hak kekayaan intelektual kita, orisinalitas kita. Jadi, jika ada orang akan menggunakan sepatutnya meminta izin terlebih dahulu atau mencantumkan sumbernya,“ tutur Denik.
Sementara itu, Muhammad Mustafied dari LPPM-UNU Yogyakarta mengatakan, Indonesia dengan kondisi geografis yang berbeda-beda dari Sabang sampai Merauke memiliki bermacam-macam suku bangsa serta kebudayaannya masing-masing.
“Banyak faktor yang memengaruhi dan menentukan keberagaman budaya itu dan kita harus menghormatinya,” kata Mustafied. Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman budaya itu antara lain letak geografis dan kondisi ekologis atau hubungan antara manusia dan lingkungannya.
Sebagaimana wilayah lain, di Kabupaten Magelang Kementerian Kominfo juga akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan Webinar Literasi Digital: Indonesia Makin Cakap Digital selama periode Mei hingga Desember 2021. Serial webinar ini bertujuan untuk mendukung percepatan transformasi digital, agar masyarakat makin cakap digital dalam memanfaatkan internet demi menunjang kemajuan bangsa.
Warga masyarakat diundang untuk bergabung sebagai peserta webinar dan akan terus memperoleh materi pelatihan literasi digital dengan mendaftarkan diri melalui akun media sosial @siberkreasi.