Oleh S Indro Tjahyono
Tentu kita bertanya-tanya mengapa serangan virus varian baru Covid-19 terus meningkat. Ambil contoh peningkatan kasus di DIY Yogyakarta, yang pada 5 Juni 2021 hanya ada 150 kasus per hari tetapi pada 13 Juli 2012 sudah mencapai 2.731 kasus dalam sehari. Ini berarti terjadi peningkatan drastis kasus dalam sehari sebesar 18 kali. Peningkatan yang sama terjadi di Jawa Timur, Banten, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Jambi.
PPKM Tidak Semulus Harapan
Berdasarkan catatan TEMPO, pelanggaran PPKM berupa mobilitas yang terjaring Operasi Yustisi di DKI Jakarta yang dihitung antara 13 Juni -11 Juli 2021 cukup tinggi, walau umumnya mengalami penurunan. Untuk PPKM berbasis Mikro sebesar 84 pelanggaran per hari dan PPKM Darurat sebesar 52 pelanggaran per hari. Selama hampir 1 bulan pengendalian mobilitas masyarakat saat diberlakukan PPKM Darurat juga cukup tinggi yakni 318.779 kendaraan bermotor diputarbalikkan (mobil sebesar 87.349 dan motor sebesar 231.430).
Kecenderungan di atas sudah terlihat sejak Polri melakukan Operasi Ketupat 2021 saat diberlakukan larangan mudik yang mengalami kenaikan lebih dari 1000% dibanding tahun sebelumnya.
Pada tahun 2020 pelanggaran Protokol Kesehatan (Prokes) sebesar 60.281 kasus, tetapi pada tahun 2021 pelanggaran Prokes meningkat hingga 654.623 kasus. Kendaraan yang diputarbalik pada semua daerah operasi tercatat sebasar 1.283.123 unit yakni 397.892 unit kendaraan roda dua, 234.324 unit kendaraan pribadi roda empat, 142.428 unit kendaraan penumpang roda empat, dan 12.914 unit kendaraan barang.
Mengapa masyarakat cenderung melanggar dan tidak mematuhi ketentuan yang diatur oleh pemerintah, ini sangat berkaitan erat dengan rendahnya kesadaran dan adanya persepsi yang salah tentang bahaya pandemi Covid-19.
Pelanggaran terhadap PPKM di daerah meningkat justru ketika makin diketatkannya pengawasan yang dilakukan pemerintah. Sehingga sampai saat ini angka pelanggaran PPKM secara nasional masih belum bisa dilaporkan.
Berbanding Lurus dengan Angka Pelanggaran UU ITE
Rendahnya kesadaran dan persepsi salah tentang bahaya pandemi Covid-19 ini ternyata berkorelasi dengan peningkatan intensitas dan jumlah berita-berita dengan konten bohong yang beredar di media sosial.
Hal ini juga berbanding lurus dengan jumlah pelanggaran UU ITE (Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) yang berisi pencemaran nama baik, ujaran kebencian, kebohongan publik, dan perbuatan tidak menyenangkan.
Termasuk di sini adalah hasutan-hasutan pembangkangan sosial untuk tidak mematuhi ketentuan PPKM, perlawanan terhadap satgas Covid-19, tuduhan malpraktek terhadap prosedur kesehatan, upaya membangkitkan denial syndrome (penolakan) terhadap keberadaan virus Covid-19, dan upaya membangun ketidak-percayaan terhadap pemerintah.
Pada 2018 kasus pelanggaran UU ITE hanya sebesar 4.360 laporan, kemudian tahun 2019 meningkat menjadi 4.582 laporan; dan sepanjang tahun 2020 menjadi 4.790 laporan yang sebagian kontennya terkait resistensi terhadap Prokes.
Untuk kasus ujaran kebencian, pada tahun 2018 Polri mencatat ada 238 laporan, pada tahun 2019 meningkat menjadi 247 laporan. Sedangkan kasus menyangkut berita bohong juga mengalami peningkatan, pada tahun 2018 hanya terdapat 60 laporan. Namun pada tahun 2019 meningkat menjadi 97 laporan dan meningkat drastis menjadi 197 laporan pada tahun 2020.
Lalu siapakah pihak yang menjadi terlapor dalam pelanggaran UU ITE?
Menurut laporan SAFEnet tahun 2016 ,sebanyak hampir 50% adalah kalangan nonpemerintah (24%) serta pihak yang status dan identitasnya tidak jelas (20%). Mereka inilah yang mendominasi aspirasi di media sosial yang berbeda, berseberangan, dan melawan kebijakan pemerintah. Sikap mereka sebagian antara lain merupakan kelanjutan dari kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu/Pilpres 2019.
Penolakan TSM terhadap Vaksin Covid 19
Walaupun vaksin terbukti telah dapat meningkatkan imunitas, menghambat penurunan saturasi oksigen, dan mencegah inveksi dari virus Covid-19; namun provokasi dengan berbagai dalih untuk menolak vaksin sudah terjadi sejak awal. Provokasi yang terjadi secara terstruktur, sistemik, dan masif di semua media sosial rupanya memiliki maksud lain, yakni membangkitkan pembangkangan kolektif dan memperbanyak jatuhnya korban agar muncul krisis sosial.
Hal ini khususnya kalau menilik bahwa setiap solusi yang diberikan selalu berkesimpulan presiden harus mundur.
Sampai 16 Juli 2021 Kemen Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melaporkan adanya 1.839 konten hoaks tentang vaksin Covid-19 pada semua platform media sosial. Sebaran hoaks paling banyak beredar di Facebook berjumlah 96 sebaran, You Tube 41 hoaks, Tiktok 15, dan Instagram 11. Di samping mengandung babi dan Chips, vaksin dikatakan mengandung merkuri sebagai senjata biologis yang mematikan.
Celakanya penyebar konten yang menghasut masyarakat menolak divaksin, di lain dengan getol mendukung jenis vaksin yang tidak direkomendasi BPOM seperti produksi vaksin mantan Menkes dr Terawan.
Hal ini menunjukkan bahwa ujaran-ujaran itu bukan persoalan kebenaran kontennya, melainkan menggunakan isu apa saja yang penting efektif dalam menghilangkan kepercayaan terhadap pemerintah dan daya ungkitnya untuk menimbulkan krisis sosial politik.
Jaringan Birokrasi Terlibat
Tuduhan TSM terhadap gerakan anti vaksin dan anti PPKM bukanlah isapan jempol. Pada 11 Juli 2021 Walikota Makassar mengumumkan akan memberhentikan 30 lurah dan 3 camat yang kedapatan ikut mengajak masyarakat untuk menolak PPKM. Walikota Makassar juga akan memberhentikan 30 ASN yang tidak mendukung kebijakan PPKM.
Buntut dari banyaknya kepala daerah yang sulit diatur dan “masuk angin” oleh paham radikal ini, akhirnya membuat Kemendagri mengeluarkan Instruksi Menteri dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 15/2021 tentang PPKM Darurat Covid-19 di wilayah Jawa Bali untuk memberi sangsi bagi kepala daerah yang tidak melaksanakan Inmendagri.
Kesimpulannya jelas bahwa pembangkangan terhadap kebijakan terkait Covid-19 sangat terorganisir dengan kategori terstruktur, sistemik, dan masif. Karena itu PPKM mau diperpanjang sampai kapan pun pandemi Covid-19 sulit melandai tanpa upaya menghentikan provokasi-provokasi yang sasarannya masyarakat awam.
Walaupun mereka terlihat seolah mengkritik kebijakan, tetapi sebagian besar berisi ajakan untuk membangkang terhadap kebijakan pemerintah dan menyebarkan isu negatif untuk menggrogoti kepercayaan pemerintah selaku otoritas pengendali pandemi Covid-19.
Selandia Baru, Brunei, Singapura, Amerika bisa mengendalikan situasi, karena semua warganegara kompak menghadapi musuh bersama, yakni pendemi Covid-19.
Perbedaan ideologi dan agenda politik kelompok mereka kesampingkan, karena yang mereka hadapi adalah ancaman hidup mati dan kehancuran sebuah negeri dan suku bangsa jika pandemi membunuh populasi penduduk. Namun yang terjadi di Indonesia sebenarnya mirip dengan kejadian di India dan Thailand, yakni pandemi Covid-19 dijadikan peluang politik untuk berseteru dengan pemerintah.
Menggunakan Strategi Buku Api Musashi
Siapakah mereka sebenarnya?
- Kelompok yang tidak mungkin mendapatkan kekuasaan melalui ketentuan peraturan perundangan yang ada
- Secara ideologis langka partai politik yang bisa menampung ideologi dan kepentingan mereka
- Kelas menengah yang kecewa dan pernah berada dalam sistem kemudian disingkirkan karena tidak bisa lagi bersikap kritis
- Para pemikir bebas (free thinker) yang selalu mengambil posisi bertentangan dengan mainstream
- Praktisi (kelompok agamis dan sekuler) yang percaya politik identitas akhirnya akan menang dengan meraup mayoritas buildings block dan irisan politik yang ada di masyarakat
- Kelompok Islam yang merasa sepanjang sejarah Indonesia syariat Islam tidak dijadikan dasar negara.
Tetapi hampir semua dari mereka sebenarnya menjalankan strategi yang sama, yakni menjatuhkan kekuasaan saat pemerintah lemah menghadapi masalah dan tantangan melawan pandemi Covid-19.
Hal ini dilakukan dengan pertama kali menghancurkan legitimasi pemerintah dan berikutnya melalui aksi informasi dan aksi massa untuk menciptakan kerusuhan dengan memanipulasi isu-isu terkait Covid-19.
Dalam Buku Api, Mushasi antara lain menulis: “Pertempuran itu laksana api. Semua benda (kekuasaan) dapat dan akan goyah saat ritme lawan (pemerintah) mampu didekte (dikuasai dan dikendalikan)”.
Selanjutnya Mushasi menulis: “Saat lawan goyah adalah saat yang baik untuk menyerang. Bila kesempatan itu dilewatkan begitu saja, maka lawan akan pulih dan kembali mengendalikan keadaan.”
Melakukan serangan yang monoton dan berulang-ulang sangatlah buruk dalam pertempuran. Meskipun di atas kertas, seorang samurai hampir pasti menang atas lawannya, namun selama lawan memiliki semangat ia akan sulit dijatuhkan.
Beruntunglah orang yang mampu memahami dan memanipulasi lingkungan pertempuran. Dinamika politik selama berlangsungnya pandemi Covid-19 kiranya dapat digambarkan melalui metafor tersebut.
- S Indro Tjahyono, pengamat sosial politik.