Senin, November 18, 2024

Soal hak cipta dan etika di balik konten digital

Must read

Sama halnya dengan dunia nyata, dunia digital juga banyak terjadi plagiasi dan pelanggaran hak cipta. Pasal 40 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan jenis karya cipta meliputi: karya tulis, karya lainnya (basis data, games), karya audio visual, karya drama dan koreografi, karya fotografi, karya musik, karya rekaman.

Wakil Rektor IAI Sunan Giri (INSURI) Ponorogo Murdianto menyampaikan pendapatnya terkait hak cipta pada webinar literasi digital bertema ”Konten Digital: Hak Cipta dan Etika” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Senin (26/7/2021).

Acara diskusi virtual yang dipandu moderator Dannys Citra itu juga menghadirkan narasumber Aulia Putri Juniarto (Kaizen Room), Muhammad Adnan (CEO Viewture Creative Solution), Zain Handoko (pengajar Pesantren Aswaja Nusantara), dan Hilyani Hidranto selaku key opinion leader.

Murdianto menyatakan, kekayaan intelektual adalah sebuah hak cipta. Karena hak cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.

Menurut Murdianto, ada beberapa objek hak cipta berbasis digital. Pertama, kategori produk buku seperti PDF, e-book, audio book yang ada di platform Google Play Book, Amazon, Kindle dan sebagainya. Kedua, kode aktivasi, free/payable download, dan smart city, biasanya ada di platform Play Store, Galaxy Sto”re, dan Apple Store.

”Ketiga streaming, MP3 Download: di platform Spotify, Apple Music, JOOQ. Keempat, streaming, watch offline, dan download: ada di platform Netflix, Viu, HOOQ, Disney+ dan sebagainya,” jelas founder Nurul Afkar Foundation itu.

Selain itu, Murdianto juga memberikan contoh pelanggaran hak cipta di ruang digital, seperti cover lagu atau mengaransemen ulang lagu dan mengunggahnya secara ilegal demi meraup keuntungan. Lainnya, misal mengunggah kembali konten digital (buku, karya seni, aplikasi) milik orang lain tanpa izin di berbagai platform.

”Contoh lain, mengunggah karya sinematografi hasil pembajakan
ke situs tidak resmi yang dipasangi iklan, atau mengunggah cuplikan dan parodi suatu adegan suatu karya sinematografi,” sambung Murdianto.

Berikutnya, pengajar pesantren Aswaja Nusantara Zain Handoko memberikan perspektif hak cipta dari pilar digital culture. Menurutnya, persoalan hak cipta juga menjadi salah satu komponen digital culture, di samping komponen nilai digitalisasi kebudayaan dan komponen Pancasila.

Kekayaan intelektual bagi Zain Handoko dibedakan menjadi enam jenis: hak cipta, hak paten, merek, rahasia dagang, desain industri, dan indikasi geografis dan asal. ”Pengakuan karya intelektual juga dibarengi dengan hak digital individu, yakni: hak mengakses, hak berekspresi, dan merasa aman,” jelas Zain.

Selanjutnya, Zain Handoko juga memberikan contoh pelanggaran hak cipta yang sering terjadi di internet. Misalnya, mengunggah dan mengunduh hasil karya orang lain, membuat website dengan konten bajakan, plagiasi karya orang lain, menggandakan software premium, dan website yang bisa diunduh secara bebas.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article