Pengertian hoaks pada umumnya yaitu berita atau konten yang tidak sesuai dengan fakta dan data sebenarnya dan sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Pembuat hoaks sesungguhnya tahu kalau konten berita yang dia buat itu tidak benar.
”Konten hoaks berbeda dengan permainan sulap. Hoax’s audience tidak tahu mereka ditipu atau dibohongi, sedangkan penonton sulap tahu mereka dibohongi tapi terhibur,” ungkap Prof. Dr. Rajab Ritonga, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr. Moestopo (Beragama) pada webinar literasi digital yang dihelat Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (29/7/2021).
Rajab menyatakan, hoaks umumnya diserbarluaskan melalui berbagai platform media, dan media sosial paling sering digunakan sebagai sarana penyebaran hoaks. Kenapa lewat media sosial? Karena, selain jumlah penggunanya banyak, media sosial juga dianggap lebih efektif dan langsung menyasar individu dalam jumlah massal.
Menurut Rajab, dengan jumlah pengguna aktif media sosial 170 juta dan rata-rata menghabiskan waktu 3 jam 14 menit bermedia sosial, maka wajar jika masyarakat rentan terpapar hoaks. Bahkan, periode Januari 2020 hingga Juni 2021, ditemukan 1.670 kasus penyebaran hoaks terkait Covid-19.
Manusia era digital, lanjut Rajab, kini hidup di dunia nyata dan juga dunia maya (virtual). Era digital kini ditandai dengan konvergensi media sebagai konsekuensi terhubungnya perangkat komputer di seluruh dunia. Masyarakat mengakses dan bertukar informasi tanpa terhalang jarak dan waktu.
”Dunia berada dalam ruang komputer (virtual world). Kegiatan manusia lebih banyak di dunia maya daripada dunia nyata, sehingga muncul berbagai ekses dunia maya di dunia nyata. Hoaks contohnya!” cetus Rajab di depan hampir 300-an partisipan webinar.
Rajab yang juga dosen di London School of Public Relations (LSPR) ini menambahkan, agar hoaks dan penyalahgunaan media sosial tidak makin merajalela, diperlukan cara berpikir kritis dan skeptis menangkal hoaks. Strategi menangkalnya: periksa dulu siapa pembuatnya (link atau URL); cek alamat, kontak, personel pengelola web; cek atau bandingkan isi konten dengan media lain; dan narasumber konten.
”Selain itu kita harus mewaspadai permintaan meneruskan konten, judul provokatif, dan jangan lupa gunakan logika membaca,” tegas Rajab.
Selanjutnya, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Adhi Iman Sulaiman menjelaskan, hoaks bermula dari informasi salah dengan niat merugikan.
Ada tiga macam hoaks, kata Adhi. Pertama, misinformasi, yakni informasi tidak benar, namun orang yang menyebarkannya percaya benar tanpa bermaksud membahayakan orang lain. Kedua, disinformasi, yakni informasi tidak benar, dan orang yang menyebarkannya juga tahu bahwa informasi itu tidak benar. Ketiga, mal-informasi, yakni sepenggal informasi benar namun digunakan dengan niat untuk merugikan seseorang atau kelompok tertentu.
”Jika dibuat diagram venn, maka bulatan pertama adalah salah (misinformasi) dan bulatan kedua adalah niat merugikan (mal-informasi). Disinformasi merupakan irisan antara misinformasi dan mal-informasi,” jelas Adhi.
Untuk menangkal hoaks, Adhi mengusulkan perlu adanya workshop atau pelatihan. Bahkan, untuk kepentingan siswa sekolah perlu memasukkannya dalam kurikulum pembelajaran. ”Hal ini sangat dibutuhkan mengingat mayoritas pengguna media sosial adalah anak-anak juga,” tegasnya.
Diskusi virtual bertajuk ”Strategi Menangkal Konten Hoaks” yang dipandu moderator entertainer Dwiky Nara itu juga menampilkan narasumber Juair (Kasi Kurikulum dan Kesiswaan Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Jawa Tengah), Mukhammad Nur Kholis (Kasi Kelembagaan Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah), dan musisi Maria Stella selaku key opinion leader.