Kebebasan berekspresi di dunia digital merupakan hak setiap individu dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Namun dalam setiap aktivitas di dunia digital, tetap diperlukan adanya batasan dan sikap berhati-hati supaya bisa lebih bermanfaat.
Co-Founder Localin Fakhriy Dinansyah menyatakan, setiap individu harus memahami berbagai hal agar bisa lebih positif berekspresi di dunia digital. Beberapa di antaranya seperti mendukung semua bentuk kemajuan, selalu membuat dan menyebarkan konten-konten yang menyatukan, serta tidak perlu mendistribusikan konten negatif.
“Konten negatif bahkan tidak perlu dibaca atau dilihat,” kata Fakhriy dalam webinar literasi digital bertema ”Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kota Salatiga, Jawa Tengah, Senin (2/8/2021).
Menurut Fakhriy, konten negatif yang menyasar para pengguna internet, tentu ditemukan juga di Indonesia. Ia mengatakan, konten negatif atau konten ilegal termuat dalam UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah melalui UU Nomor 19 tahun 2016 (UU ITE).
Dalam aturan itu dijelaskan, konten negatif merupakan informasi dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, atau pencemaran nama baik, pemerasan dan atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan, sehingga mengakibatkan kerugian pengguna.
“Selain itu, konten negatif juga diartikan sebagai substansi yang mengarah pada penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras dan golongan,” ungkap Fakhriy.
Fakhriy menambahkan, dalam berekspresi di dunia digital, agar lebih bisa bermanfaat, para pengguna bisa saling berinterkasi.
Ia menjabarkan, interaksi ini berupa proses komunikasi dua arah antarpengguna terkait mendiskusikan ide, topik, dan isu dalam ruang digital.
“Pada media digital, interaksi bersifat sosial. Hasil yang diharapkan adalah interaksi yang sehat dan menghangatkan seperti menjalin relasi atau pertemanan pada umumnya,” tuturnya.
Masyarakat juga bisa terlibat aktif dalam berbagi data dan informasi yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, sehingga menciptakan konten kreatif dan positif untuk menggerakkan lingkungan sekitar.
Selain itu, dalam berekspresi di dunia digital juga bisa kerja sama antarpengguna untuk berinisiatif dan mendistribusikan informasi yang jujur, akurat, dan etis dengan bekerja sama dengan kelompok masyarakat dan pemangku kepentingan lain.
Narasumber lainnya, dosen IAIN Salatiga Rifqi Fairus mengatakan, ada berbagai tantangan budaya digital di Indonesia, seperti penyalahgunaan kebebasan berekspresi, batasan privasi makin kabur, pelanggaran hak cipta, media jadi panggung budaya asing yang bermacam, hingga pelanggaran hak cipta.
Rifqi juga mewanti-wanti agar masyarakat mewaspadai konten-konten yang mengandung provokasi. Ia menyebut ciri konten provokasi di antaranya seperti memancing emosi, menggiring untuk percaya opini tertentu, mengandung framing untuk curiga dan memusuhi kelompok tertentu.
Ciri lain, yakni ada pihak yang didiskreditkan, ajakan untuk menyebarkan secara luas. Untuk itu, lanjut Rifqi, sebelum berekspresi di dunia digital, masyarakat harus berpikir secara rasional, paham duduk perkara dan detail dari sebuah fenomena, serta objektif atau tidak menuruti emosi.
“Pertimbangkan konsekuensi dan risikonya. Selain itu juga perbesar lingkaran pergaulan untuk melihat sisi atau argumen yang berbeda,” ucapnya.
Webinar kali ini juga menghadirkan narasumber A. Firmannamal yang merupakan praktisi kehumasan, Kementerian Sekretariat Negara RI, dan Eko Sugiono, digital marketer expert G Coach.
Selain itu, hadir pula seniman Ones sebagai key opinion leader, dan Ayu Pertiwi, traditional dancer yang menjadi moderator dari webinar yang diikuti sekira 200 peserta itu.