Kepala MTsN 3 Purworejo Fitriana Aenun mengungkapkan, sebagian besar generasi milenial kini tak ada yang tak mengenal media sosial.
Media sosial yang sudah berwujud dalam berbagai platform itu harus diakui telah menjadi life style sekaligus kebutuhan, mulai dari kepentingan sosial seperti eksistensi diri, kepentingan ekonomi, hingga kepentingan politik dan pemerintahan.
Manfaat media sosial mulai dari sarana komunikasi, informasi, berbagi, berekspresi, edukasi, promosi, berekspresi, hobi, hiburan, relasi sampai mengasah skill.
“Hampir tidak pandang usia lagi, hampir semua elemen masyarakat kini terhubung dan berkomunikasi menggunakan media sosial berbagai platform karena dari situ kita sangat leluasa mendapatkan dan berbagi informasi ke seluruh dunia dalam waktu singkat,” kata Fitriana saat menjadi narasumber dalam webinar literasi digital bertajuk “Dampak Positif Bermedia Sosial” yang digelar Kementerian Kominfo dan Debindo untuk warga Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Jumat (2/8/2021).
Namun, lanjut Fitriana, dengan banyaknya manfaat media sosial itu tidak sedikit juga kasus penyalahgunaan yang berujung pada perkara hukum sebagai dampak dari penyebaran informasi yang mengabaikan etika digital atau digital ethics.
“Kenapa perlu perkuat digital ethics, karena ini jadi panduan berperilaku selayaknya sesuai norma dan hukum di ruang digital. Jadi, tiap pengguna bisa memahami apa saja yang boleh dan tidak boleh, sopan dan tidak sopan saat berinteraksi dan berkomunikasi di ruang digital,” ujar Fitriana.
Fitriana mengatakan, etika sebagai sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan mengatur tingkah laku. Berbeda dengan etiket yang mengatur tata cara individu berinteraksi dengan individu lain. “Dalam beraktivitas di internet, terdapat etika dan etiket yang perlu diikuti oleh pengguna,” tuturnya
Contoh etika dalam interaksi digital, lanjut Fitriana, seperti tidak menggunakan huruf besar/kapital, apabila mengutip dari internet cukup seperlunya, memperlakukan email sebagai pesan pribadi nan rahasia, dan selalu berhati-hati dalam melanjutkan email ke pihak lain.
“Etika ini juga termasuk dalam menggunakan format plain text dan jangan sembarangan menggunakan Html, dan tidak mengirim file berukuran besar melalui attachment tanpa izin terlebih dahulu dari penerimanya,” tegas Fitriana.
Lalu, bedanya dengan etiket saat berinternet, Fitriana mencontohkan saat menulis email memakai ejaan benar dan kalimat sopan. “Jangan menggunakan huruf kapital semua dan biasakan menuliskan subject email untuk mempermudah penerima,” kata dia.
Selain itu, Fitriana juga menyarankan menggunakan BCC (Blind Carbon
Copy) bukannya CC (Carbon Copy) untuk menghindari tersebarnya email milik orang lain. Juga, tidak mengirim email berupa spam, surat berantai, surat promosi dan lainnya yang tidak berhubungan dengan mailing list.
“Etiket ini termasuk juga upaya menghargai hak cipta orang lain, privasi orang lain, dan menghindari kata-kata jorok dan vulgar,” tegasnya.
Tak cukup sampai di situ. Fitriana menambahkan, untuk mengatur
perilaku pengguna internet juga ada netiket yang mengatur ketika seorang warganet berinteraksi dengan warganet lain.
Ia menyebut ada dua jenis netiket dalam berinteraksi dan berkomunikasi di ruang digital. Pertama, one to one communications, dan kedua one to many communication.
“One to one communications itu ketika komunikasi yang terjadi antara satu individu dengan individu lainnya, sedangkan one to many communication jika komunikasi terjadi antar individu dengan beberapa orang atau kelompok,” jelas Fitriana.
Narasumber lain, pengajar Global Islamic School 3 Yogyakarta Ziaulhaq Usri mengatakan, perkembangan digital semestinya diikuti makin luasnya keterampilan digital. Sehingga penggunaan teknologi digital semakin memberi manfaat banyak pihak.
“Ketrampilan di era digital itu ya mulai dari berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi dan berpikir kreatif serta inovatif,” kata Ziaulhaq.
Webinar yang dipandu oleh moderator Dwiky Nara itu, turut menghadirkan narasumber peneliti Paramadina Public Policy Septa Dinata dan Kepala Kantor Kemenag Brebes Fajarin, dan Shafa Lubis Selaku key opinion leader.