Program nasional literasi digital masih berlangsung di kuartal ketiga tahun 2021. Hari ini, Selasa (3/8/2021) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyelenggarakan webinar untuk masyarakat Kabupaten Cilacap dengan tema “Menjaga dan Mendidik Anak di Era Digital”.
Literasi digital sendiri merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang cakap dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini berdasarkan empat pilar literasi digital yang meliputi digital ethics, digital culture, digital skill, dan digital safety.
Dalam diskusi virtual kali ini Mafin Rizqi (content creator) menjadi pemandu acara dengan mengajak empat pemateri: Riant Nugroho (pegiat literasi digital), Jafar Ahmad (direktur lembaga survei IDEA), Imam Tobroni (kepala kantor Kemenag Cilacap), dan Lanjar Utami (kepala MAN 1 Karanganyar). Selain itu Niya Kurniawan (mom influencer) juga diundang dalam diskusi sebagai key opinion leader.
Imam Tobroni mengatakan, lingkungan dan situasi di sekitar anak didik sangat mempengaruhi proses pendidikan. Meskipun ketika lahir anak dalam keadaan fitrah, namun ia bisa menjadi baik atau buruk tergantung orangtuanya. Mengutip Sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib RA, Imam mengatakan, orangtua hendaknya mendidik anak sesuai dengan zamannya. Artinya, pendidikan yang diajarkan oleh siapa pun harus disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi.
Di era yang sudah serba digital ini, proses yang harus tertanam dalam nilai anak tentu berbeda dengan nilai etis yang dimiliki orangtuanya. Ada tiga pendekatan pendidikan yang berbeda di setiap periode pendidikan. Yakni pendekatan karakter untuk anak usia nol sampai tujuh tahun, hal ini karena pada usia dini anak lebih menggantungkan perilaku dirinya, etis moralnya, adat dan kebiasaannya dari orangtua dan guru. Penguatan karakter dengan menanamkan nilai kasih sayang, ramah, dan empatik sebagai pondasi untuk membangun interaksi sosial.
“Pada umur delapan hingga lima belas tahun orangtua diajarkan untuk menguatkan nilai kedisiplinan. Pada usia ini anak sudah tahu hak dan kewajiban, yang baik atau buruk. Di periode ini orangtua dan guru juga sekaligus berperan memantau anak. Pada periode lima belas hingga 21 tahun, pendekatan yang dilakukan adalah demokratis dan humanis. Orangtua menempatkan diri sebagai sahabat dengan mendorong semangat kebersamaan, membangun komunitas dan berjejaring yang tidak hanya dalam konteks dunia nyata, tetapi juga dunia maya,” jelas Imam kepada 600-an peserta diskusi.
Imam Tobroni juga menyebutkan ada empat nilai etis dalam pendidikan anak di era digital. Pertama, adalah tawasuth atau bersikap tengah dan moderat. Hal ini penting mengingat keberagaman budaya di Indonesia, terlebih kepada pemuda untuk mendudukkan di posisi yang tidak ekstrem baik bagi diri sendiri dan orang lain.
“Kedua adalah nilai tasamuh atau saling menghormati dan toleransi. Kesadaran saling menghargai penting diajarkan agar tidak menimbulkan gesekan dalam interaksi. Terakhir adalah etis amar maruf nahi munkar atau menebarkan kebaikan. Melalui nilai ini kita diajarkan untuk meningkatkan semangat berbagi dalam konteks kebaikan yang tidak hanya lewat kata tetapi juga perbuatan,” pungkasnya.
Sementara itu, dalam konteks budaya, Lanjar Utami menambahkan, anak perlu diajarkan menanamkan empati digital yang dapat memperkuat karakter di era digital. Sebab, tak bisa dimungkiri era digital memberikan peluang kebaikan sekaligus tantangan, maka di era revolusi 4.0 ini menyiapkan anak sesuai zamannya adalah keniscayaan.
Literasi digital menjadi dasar bagi anak agar bisa beradaptasi dengan baik di dunia maya, tanpa meninggalkan nilai kehidupan di dunia nyata. Menguasai dan memahami penggunaan serta cara memanfaatkan teknologi dengan bertanggung jawab. Juga, dibekali dengan kemampuan berpikir kritis dalam menerima atau menyebarkan arus informasi ditambah menanamkan digital emphaty.
“Empati digital adalah pendekatan holistik untuk mengajarkan literasi digital dengan memadukan aspek kognitif, emosi, sosial, dan moral literasi media dan digital. Anak diajarkan tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga spiritual, hebat tetapi bermartabat,” jelas Lanjar.
Tiga jenis empati itu adalah emotional, cognitive, and compassionate empathy. Emotional empathy mengajarkan anak agar bisa merasakan dan peduli terhadap orang lain. Cognitive empathy berarti mampu mendeteksi dan memahami keadaan orang lain pada kondisi tertentu, dan compassionate empathy adalah membantu memahami dan merasakan emosi orang lain serta dorongan untuk membantu orang lain.
“Menumbuhkan empati anak menjadi tugas bersama untuk membekali generasi milenial di kehidupan sosial dengan merujuk pada moral dan kebaikan, nilai agama dan kearifan lokal. Media digital menjadi sarana penguatan karakter berbangsa dan bernegara,” imbuh Lanjar.
Mengembangkan sikap empati anak, lanjut Lanjar, dilakukan dengan menjadikan diri sebagai panutan atau role model di mana pun berada. Yakni, membiasakan bertutur dengan baik, menghormati orang lain. Juga mengembangkan empati di tri pusat pendidikan, berdiskusi antaranggota keluarga tentang nilai dan tata krama, mengaplikasikan cara berpikir kritis, dan membangun budaya kritik yang konstruktif.