Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan berbagai komunitas membangun literasi digital. Program nasional ini merupakan upaya untuk mendukung percepatan transformasi digital dan menciptakan masyarakat yang cakap dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Salah satu program literasi digital yang tengah digaungkan adalah diskusi virtual literasi digital yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Seperti yang digelar untuk masyarakat Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Jumat (30/7/2021) dengan topik “Cerdas dan Bijak Berinternet: Pilah Pilih Sebelum Sebar”.
Bersama Vania Martadinata (presenter) sebagai moderator, materi diskusi dibawakan oleh empat narasumber: Tatty Aprilyana (founder Kampung Aridatu), Septyanto Galan Prakoso (dosen UNS), Abdul Rohman (direktur Buku Langgar), dan Kamilia Hamidah (dosen IPMAFA Pati). Selain itu, juga hadir sebagai key opinion leader adalah Adew Wahyu (content creator). Masing-masing narasumber juga menyampaikan empat pilar literasi digital yang meliputi digital culture, digital safety, digital skill, dan digital ethics.
Abdul Rohman yang menyinggung pilar digital culture menyampaikan bahwa transformasi digital telah membawa realitas digital menjadi arus budaya baru. Maka yang menjadi tantangan dalam mengarungi budaya baru ini masyarakat perlu secara utuh memahami realitas budaya sebagai bentuk tanggung jawab dalam menggunakan TIK. Sebab, pada dasarnya dunia digital adalah dunia maya yang abstrak yang digunakan sebagai citra untuk mengaktualisasikan diri dan menawarkan euforia.
“Maka, dapat dipastikan dunia maya itu belum tentu faktual, karena yang ditampilkan belum pasti yang sebenarnya. Hal ini sama dengan banyaknya informasi di internet, belum tentu semuanya benar,” jelas Rohman.
Transformasi digital mempengaruhi sebagian besar cara hidup masyarakat. Transformasi digital mempengaruhi kesadaran manusia, sebab ruang digital menjadi dunia baru yang menyerap aktivitas manusia dari realitas konkret ke dunia maya. Aktivitas sosial manusia terutama saat bermedia sosial membuat otomatisasi yang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Maka teknologi sebagai produk kebudayaan harus digunakan secara bijak agar tidak mereduksi kemanusiaan kita. Ruang digital digunakan semata untuk menunjang aktivitas dan keperluan kehidupan.
“Selain mengubah kesadaran kemanusiaan, transformasi digital juga mengubah interaksi sosial di ruang digital. Masyarakat menjadi terpolarisasi baik sebagai individu atau kelompok tertentu. Eksploitasi membuat hilangnya akal sehat dan hati nurani karena menganggap ruang digital sebagai ruang bebas, interaksi yang serba cepat juga menyebabkan hilangnya kedalaman, serta banjirnya informasi membuat kita sulit membedakan fakta, hoaks, kritik, aspirasi dan apresiasi sosial,” ungkap Rohman.
Ia menekankan, masyarakat harus mampu memposisikan diri dalam bersikap. Kapan harus menggunakan media sosial dan kapan harus berinteraksi secara nyata. Transformasi digital tidak bisa dielak keberadaannya, tetapi sebagai manusia juga perlu merenungkan bagaimana bersikap bijak dan tanggung jawab di tengah kebebasan media sosial.
“Cerdas dan bijak bermedia sosial yang berkebudayaan menjadi sikap yang perlu ditumbuhkan. Karena bagaimana pun aktor utama dari dunia digital adalah manusia. Maka, kita harus bisa memanusiakan manusia di mana pun berada. Kita harus mengikuti arus budaya baru tapi jangan sampai hanyut dan tenggelam,” tutupnya.
Diskusi disambung oleh Kamilia Hamidah tentang bagaimana bersikap etis dalam bermedia. Ia mengatakan, interaksi digital tidak ada bedanya dengan di dunia nyata, sehingga mindfulness communication penting dalam berinteraksi dan komunikasi. Yakni, komunikasi dengan baik yang memikirkan sisi lawan bicaranya.
“Itu sebabnya, etika menjadi kontrol pada diri kita ketika bermedia. Saring sebelum sharing itu kontrolnya pada diri kita, sehingga mindset kita sinkron dengan jempol,” ujar Kamilia menyoroti warganet Indonesia yang masih spontan dalam bereaksi di ruang digital.
Ruang digital menjadi ruang bebas berekspresi, namun kebebasan itu memiliki batasan yang sama dengan hak-hak digital. Yakni, tidak boleh melanggar hak dan melukai orang lain, juga tidak boleh membahayakan kepentingan publik, negara dan masyarakat.
“Jenis informasi yang melanggar hak di dunia digital adalah tidak menyebarkan informasi yang mengandung pornografi, karena melanggar hak anak, hate speech melanggar hak melindungi komunitas. Kemudian provokasi dan advokasi nasional untuk melindungi hak-hak orang dan kelompok tertentu,” terang Kamilia.
Menjadi warga dunia digital yang bijak adalah dengan menyebarkan konten yang positif, mampu berpikir kritis dalam menyikapi informasi, dan ikut serta dalam kolaborasi menyosialisasikan literasi digital.
“Membangun budaya digital memerlukan kita semua untuk belajar bersama, bergandengan, saling berbagi, saling mengedukasi dan saling kolaborasi. Sehingga, dengan populasi Indonesia yang sangat padat akan berimbang dengan produksi konten dan karya digital dari anak bangsa,” pungkasnya.