Kata-kata adalah senjata, maka stop hate speech! Lawan ujaran kebencian dengan ujaran kecintaan! Itulah seruan yang diungkapkan Ketua LPPM Universitas Nahdlatul Ulama UNU) Yogyakarta Muhammad Mustafid saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Melawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (9/9/2021).
Mustafid mengungkapkan, ujian kebencian atau hate speech pada kaum minoritas, sampai saat ini masih bisa dengan mudah ditemukan di internet. Meskipun, di sisi lain, kebebasan beropini atau dalam lingkup luas menjadi kebebasan berekspresi menjadi satu hak fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia seperti halnya Indonesia.
“Setiap orang memang bebas beropini di internet. Namun kebebasan berpendapat perlu dibedakan dari ujaran kebencian yang berpotensi memicu konflik, perpecahan, dan kekerasan,” tegas Mustafid dalam webinar yang diikuti seratusan peserta itu.
Sebagai negara hukum, ujar Mustafid, Indonesia memang menjamin kebebasan berekspresi sejak awal kemerdekaan melalui UUD 1945. Namun ujaran kebencian di ruang digital yang ia amati justru kian menunjukkan hidungnya. Sehingga, kasus-kasus yang ada berakhir ke ranah hukum.
“Ujaran kebencian itu makin menjadi baik berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong,” jelas Mustafid. Ia menambahkan, ujaran kebencian jika dilakukan masif bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, diskriminasi, pengucilan, kekerasan bahkan pembantaian etnis.
Terkait langkah penanganan ujaran kebencian, tutur Mustafid, perlu dilakukan tindakan preventif. Misal, cara penyelesaian dengan tindakan penegakan hukum yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2000 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Lawan ujaran kebencian di dunia maya. Jangan diam, karena ujaran kebencian bertentangan dengan perdamaian, upaya penghentian terorisme, dan upaya pecah belah bangsa,” seru Mustafid.
Mustafid merinci, sebuah data terlapor kasus UU ITE yang pernah dimuat Tirto.id. Temuan survei itu, kasus terlapor berdasarkan profesi dari orang awam paling tinggi yakni 29,4 persen, diikuti kalangan aktivis sebesar 8,2 persen, pelajar dan mahasiswa 6,5 persen, guru dan dosen 6,1 persen, jurnalis 5,3 persen, pejabat negara 4,5 persen, LSM atau organisasi masyarakat 4,1 persen, ASN 3,7 persen, pengusaha 2,9 persen, pengacara 2,8 persen, karyawan 2,7 persen, pegiat budaya dan seni 2,4 persen, selebritas 2 persen, serta dokter dan perawat 2 persen.
Head of Operation PT Cipta Manusia Indonesia Rizqika Alya Anwar dalam webinar itu menuturkan, publik perlu ingat yang diungkap Microsoft beberapa waktu lalu bahwa warganet Indonesia paling tidak sopan se-Asia Pasifik. Ketidaksopanan dunia digital ini berkorelasi dengan ujaran kebencian yang beredar.
“Jaga tutur dan sikap ketika di ruang digital sesuai kebutuhanmu. Jangan menggunakan kata-kata tak pantas, karena ruang digital atau nyata sama norma etikanya,” tegas Rizqika
Dimoderatori Rahmat Ibrahim, webinar ini juga menghadirkan narasumber dosen Administrasi Publik FISIP Undip Semarang Hartuti Purnaweni, dosen dan praktisi DKV Universitas Sahid Surakarta Evelyne Henny Lukitasari, serta Shafinaz Nachiar selaku key opinion leader.