Kepala Bidang Advokasi dan Kerja sama Pusat Studi Pancasila UGM Diasma Sandi Swandaru menuturkan, salah satu celah yang menjadi pintu masuk maraknya kejahatan siber tak lain adalah keamanan digital.
Kini, kejahatan siber umumnya dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih. Sehingga, setiap negara dituntut memiliki keamanan digital memadai agar tidak gampang diobrak-abrik oleh aksi kejahatan yang seringkali sulit dilacak asal muasalnya ini.
“Dan sayangnya, Indonesia termasuk dalam negara dengan tingkat keamanan siber yang lemah, sehingga masuk dalam salah satu dari 10 negara yang seringkali terkena serangan siber,” ujar Diasma saat menjadi pembicara dalam webinar literasi digital bertema “Menjadi Pengguna Internet yang Beradab” yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat (17/9/2021).
Dalam webinar yang diikuti 200 peserta lebih itu Diasma merujuk data The Global Cyber Security Index 2017 yang dirilis oleh UN International Telecommunication Union (ITU). Menurut laporan itu, serangan siber tak pernah berhenti memasuki sistem digital Indonesia. Bahkan, ujar Diasma, catatan Indonesia Security Incident Response Times of Internet Infrastructure (ID-SIRTII) memperkuat fakta tentang lemahnya keamanan digital Indonesia dengan menunjukkan data bahwa sejak Januari hingga Juli 2017, sedikitnya terdapat 177,3 juta serangan siber yang masuk ke Indonesia.
“Itu artinya, dalam satu hari bisa terdapat 836.200 serangan siber yang umumnya serangan ini dilancarkan dalam bentuk Malware,” tegas Diasma.
Lemahnya keamanan siber ini menuntut para pengguna untuk lebih bisa melindungi data-data dan identitas digitalnya. Keamanan siber yang perlu ditelaah khususnya perlindungan keamanan, pedoman pendekatan, manajemen risiko, pelatihan praktik hingga jaminan teknologi yang dapat digunakan untuk melindungi lingkungan siber organisasi dan aset pengguna internet.
“Keamanan digital semakin krusial karena era digital sudah menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia. Sehingga, menyebabkan perubahan kebiasaan perilaku dan gaya hidup, perdagangan jual beli, pelayanan publik, pendidikan, sampai interaksi sosial,” kata Diasma.
Pengguna digital dituntut memiliki kecakapan digital agar bisa menerapkan keamanan digital. Ini meliputi pengamanan perangkat digital pengamanan identitas digital, memahami rekam jejak digital, memahami gangguan, dan mewaspadai ancaman digital. Tak ketinggalan, lanjut Diasma, perlunya pengguna mengenali ragam kejahatan media sosial.
“Mulai dari penipuan berkedok jual beli online, pembajakan akun media sosial, penculikan dan pemerkosaan, prostitusi online, cyber bullying dan pencurian data pribadi,” kata Diasma.
Narasumber lain dalam webinar kali ini, dosen Universitas Negeri Sebelas Maret M. Yunus Anis menuturkan, tantangan besar pengguna internet saat ini masih berkutat pula pada adab dan budaya. ”Mendorong pengguna internet selalu berusaha mempertahankan kearifan lokal, budaya sopan santun menjadi bagian itu. Kearifan lokal menjadi sumber peradaban dan kebudayaan,” tegas Yunus.
Yunus menyebut pengguna internet perlu pula belajar dan evaluasi bagaimana di ruang digital mengedepankan kepentingan publik. Mengkampanyekan budaya gotong-royong dan berusaha mengemas informasi publik dengan kreatif dan inovatif sembari mempromosikan produk menggunakan bahasa daerah dengan dilengkapi takarir (subtitle).
“Mari jadikan budaya daerah sebagai landasan komunikasi publik, sebagai identitas dan bukti kecintaan kita pada bangsa dan negara Indonesia,” kata Yunus.
Webinar yang dimoderatori Dimas Satria ini juga menghadirkan narasumber CEO Jaring Pasar Nusantara Muhammad Achadi, dosen STAI Al Husain Ali Rohmat serta Indira Wibowo selaku key opinion leader.