Rasanya tak berlebihan kalau ada lembaga riset asing menuding warganet Indonesia yang paling tidak sopan se-Asia Pasifik. Memang tak keliru. Seperti belum lama terjadi, artis sinetron Dinda Hauw melahirkan anak dan memposting status di Instagramnya. Warganet yang merespons dan membully statusnya ia anggap berlebihan dengan arah yang sangat memojokkan.
”Baru sehari ngrasain jadi ibu, pengorbanannya ampuun deh… begadang,” begitu bunyi status Dinda Hauw, yang langsung disambut dengan komentar sinis, bahkan oleh sesama wanita. ”Saya bilang ini sudah penyerangan gender,” kata Dinda. Merespons status tadi, ada warganet yang berkomentar, ’Emang kau pikir ibu kalau abis lahiran, kalau nggak begadang, ngapain? Push up? Ya emang itu derita lu…
”Belum lagi kalau kita lihat di medsos. Nuwun sewu, komentar seru di medsos, meski bercanda tapi juga menyerang gender: ’Ayo, siapa tahu beda McD, KFC dan TikTok? Di McD dan KFC, kalau pengin menikmati paha dan dada, mesti bayar dulu. Kalau di Tiktok, kita bisa nikmati paha dan dada tanpa bayar’. Itu sebenarnya bentuk penyerangan pada gender tertentu secara digital,” ungkap Yuliana Kristanto, dosen Universitas Diponegoro Semarang, saat tampil dalam webinar literasi digital untuk masyarakat Kota Semarang, 28 Juni 2021.
Ternyata, lanjut Yuliana, bentuk penyerangan digital semacam itu berpengaruh pada minat perempuan untuk mengakses dunia digital. Sebab, perempuan merasa tidak nyaman dengan konten dan berita medsos yang cenderung membullynya.
”Dampaknya serius. Data terbaru Kominfo, ternyata baru 20 persen wanita kita yang mau mengakses digital, dan baru 5 persen yang mau menjadikan internet sarana aplikasi untuk menyuarakan aspirasi dan pikirannya di media sosial,” urai Yuliana dalam webinar bertema ”Menyikapi Kesenjangan Digital Antar Gender dan Kelas Sosial” yang diikuti ratusan peserta lintas generasi dan profesi.
Yuliana menambahkan, tidak hanya soal kekerasan gender, utamanya pada perempuan. Fenomena konten Youtube yang diproduksi Raffi Ahmad, juga Sisca Kohl, yang mempertontonkan makan durian harga jutaan atau makanan mewah dengan tagline ’Mariii kita coba’.
”Pamer harta dan beragam pesona nikmat keduniawian memang diklaim bertujuan memotivasi penonton, tapi sebenarnya justru lebih membuat kesenjangan sosial makin dirasakan penontonnya. Tentu, ini yang juga perlu diantisipasi implikasinya,” pesan Yuliana
Dalam webinar yang dimoderatori Dwiky Nara itu, Yuliana Kristanto tampil bersama tiga pemateri lain: Ilham Faris (konsultan digital safety dari Kaizen Room), Dr. Agustin Rina Herawati (dosen Fisip Undip Semarang), Dr. Leviana JH Lotulung (dosen Komunikasi Unsram Manado), serta Virgiana Obeid yang tampil sebagai key opinion leader.
Fenomena Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) kini memang jadi masalah serius. Catatan Ilham Faris, mengutip data LBH Apik tahun 2020, angka laporan KBGO yang mengakibatkan ancaman, perbuatan tak senonoh hingga mengganggu kemerdekaan dan merasa terampas secara online pada gender tertentu, sepanjang tahun 2020 sebanyak 307 laporan.
Sementara, laporan Komnas Perempuan lebih parah datanya. Sepanjang Januari hingga Oktober 2020 terakhir sudah 659 laporan, naik 234 persen dari tahun 2019 yang 281 laporan. ”Ini butuh perlindungan serius. Karena demi kesetaraan gender wanita juga perlu identitas digital, tapi sekaligus butuh perlindungan serius dalam pengaplikasiannya,” ujar Ilham.
Padahal, dalam realitas nyata saat ini, menurut catatan Dr. Leviane JH Lotulung dari Manado, perempuan sudah bukan lagi dominan secara populasi. Kini, di data Sensus Penduduk Indonesia 2020, jumlah laki-laki Indonesia sudah lebih banyak hingga lewat 3 juta. ”Walau memang secara politik di Sulut belum pernah ada gubernur perempuan, tapi di pilkada tempo hari ada dua calon gubernur perempuan. Itu membuktikan, kesetaraan di dunia nyata sudah benar terjadi,” ungkap Leviane.
Isu kesenjangan gender dan sosial memang masih jadi pekerjaan rumah serius. Kementerian Kominfo sendiri telah melakukan serangkaian langkah peningkatan dan perbaikan. Seperti pernah disampaikan Staf Khusus Kemenkominfo Bidang Digital dan SDM, Dedy Permadi, pada suatu webinar bersama Agustin, ia akui penggunaan internet untuk perempuan memang masih jadi pekerjaan rumah.
”Wajar kalau saat ini hanya 26 persen perempuan Indonesia yang sadar menggunakan internet untuk mau secara kritis mencari informasi tentang hak-haknya yang masih perlu diperjuangkan bersama,” ujar Agustin Rina Herawati, memungkas diskusi siang itu.