Ini realitas di jutaan keluarga Indonesia saat ini, yang jarang disadari. Sejak kapan anak Indonesia dikenalkan dengan handphone? Kalau diteruskan pertanyaannya, di mana pertama kali anak mengenal handphone dan siapa yang mengenalkannya? Kalau baca hasil riset Dr. Novi Kurnia dari Fisipol UGM, semua justru bermula dari peran orangtua, karena orangtua sekarang mengenalkan handphone sejak dini kepada anak, buat mainan anak agar tidak rewel.
”Jadi, sekarang anak umur 3 atau 5 tahun sudah bisa main hape, biar bapak ibunya bisa bekerja ala kantor di rumah karena work from home. Jadi, posisi hape sekarang semacam kempeng (dot) digital agar anak kecil ndak rewel nangis,” ungkap M. Mustafied, dosen dan peneliti dari LPPM Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, saat berbicara dalam webinar literasi digital bertopik ”Kesadaran Digital bagi Orangtua”, yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk masyarakat Kabupaten Pemalang, 2 Juli 2021.
Menyambung diskusi, dalam amatan Imam Wicaksono, CEO Sempulur Craft Yogyakarta, di banyak keluarga di desa seputar Jogja, ada salah kaprah: membelikan handphone atau smartphone buat anak, baik yang belum waktunya (balita) atau remaja belasan tahun, dianggap gengsi, atau orang Jawa bilang ”kanggo umuk”, buat pamer ke tetangga. Intinya, ada kepuasan orangtua kalau bisa membelikan anak smartphone.
”Sayangnya, sering banyak orangtua yang mengabaikan pengawasan dan pengaturan jam operasi dan pantau konten yang diakses. Sehingga dampaknya, banyak kasus anak jadi terpapar konten yang mestinya tidak boleh diakses. Ini yang butuh peran, panduan, dan pendampingan orangtua,” kata Imam.
Mustafied dan Imam tampil dalam diskusi yang digelar daring dengan ratusan peserta lintas profesi dan generasi dari seputar Kabupaten Pemalang. Dipandu oleh moderator Nabila Nadjib, tampil juga dua pembicara lain: Supranoto Msi PhD (dosen Universitas Jember) dan Abdul Latief (dosen IAIN Salatiga), ditambah Tya Lestari, Moms Influencer yang tampil sebagai key opinion leader.
Imam Wicaksono menambahkan, yang kini menjadi tantangan buat orangtua adalah bijak dalam mendampingi anak-anak mengakses smartphone-nya. Tidak perlu dilarang lagi, karena ’modern problem request modern solution’. Orangtua sekarang juga mesti sadar untuk cakap digital. Skill-nya mesti diasah, belajar juga. Apalagi, sekarang banyak aplikasi untuk mengontrol dan mengawasi apa konten yang diakses anak, seperti aplikasi Quststudio yang bisa mengawasi 15 aplikasi di smartphone anak kita. Bisa dikontrol secara digital real time.
”Yang juga penting, jadikan anak teman diskusi dan saling tukar pengalaman. Lalu, bikin aturan jam operasi hape anak. Juga, buat arena aktivitas fisik lain di rumah selama pandemi, berkebun atau jalan jalan keliling desa. Tujuannya, agar orangtua dan anak selama PPKM ini, entah sampai kapan juga ortu WFH, tidak menghabiskan waktu hanya bersama hape. Ini penting buat perkembangan tumbuh kembang dan kesehatan keluarga,” pesan Imam.
Sementara itu, narasumber Abdul Latief mengingatkan, yang tak kalah penting disadari oleh anak maupun orangtua adalah mau saling berkolaborasi, belajar bersama. Generasi muda, khususnya kaum milenia, mau mengajari orangtua. Menurut data riset Statista, Maret 2021, orangtua berusia 54 s.d. 75 tahun di Indonesia masih 29 persen yang terakses smartphone, itu pun belum bisa lepas dengan kegaptekannya.
Misal, sudah bisa pencet penggunaan video call di hapenya, tapi saat anak menelepon orangtua, kok hape masih ditempel di telinga, sehingga di video layar anak yang muncul gambar telinga orangtua. Kita yang muda mesti sabar menjelaskan biar orangtua makin cakap dan merasakan kemudahan, keamanan dan kenyamanan memakai smartphone yang benar. ”Orangtua juga mesti mau dijadikan teman sharing dan belajar oleh anak, agar kedua pihak makin cakap bermedia digital dan maju bersama,” saran Abdul Latief.
Narasumber Supranoto mengamini. Katanya, orangtua dan anak memang mesti bersinergi, saling melengkapi. Dulu, orangtua yang masuk generasi baby boomer mainnya cuma seputar desa dan kecamatan. Tapi anak kita sekarang, jangan jadi over confidence, karena dengan smartphone dia mainnya bisa lintas dunia. Pergaulan lebih luas, tapi tetap harus jaga jatidiri dan moral sebagai anak Indonesia.
”Orangtua ke depan bukan hanya memberi teladan yang bijak buat anak, tapi juga mau memahami pandangan dan pola pikir anak. Anak tak perlu dipaksa menjadi seperti bapaknya. Biarkan anak berkembang sesuai zamannya, tapi dijaga konten wawasan yang diakses di smartphone agar moral dan pergaulannya tetap sesuai tata krama dan budaya Indonesia, pesan Supranoto.
Yang pasti, Mustafied kembali mengingatkan, orangtua tak perlu melarang anak mengakses smartphone. Itu sudah kehendak sejarah, karena smartphone buat anak akan terus menjadi supporting menuju masa depan yang dihendaki zaman. ”Tinggal peran orangtua, mesti bijak dan siap jadi mitra belajar yang berperan untuk mencerahkan, pikir, nalar dan moral agar budayanya tetap terjaga,” kata Mustafied, memungkas diskusi.