Survei dan riset beberapa lembaga kelas dunia mutakhir rupanya terkait dan ada benarnya. Pertama, dalam survei Microsoft, sepanjang tahun 2020 warganet Indonesia disebut menempati rangking 29 dari 32 negara yang paling tidak sopan se-Asia Tenggara dalam berinternet.
Bukannya menyadari dan mengubah diri, ribuan netizen alias warganet kita malah marah-marah, semakin emosi menebar kebencian di akun Instagram Microsoft, bahkan dengan menebar sumpah serapah. Sampai-sampai, akun Instagram Microsoft ditutup sementara.
Menurut I Nyoman Yoga Segara, dosen UHN I Gusti Sugriwa Denpasar Bali, pemantik emosi warganet Indonesia bisa jadi terkait dengan hasil riset kedua yang dilakukan Unesco. Unesco menyurvei 3.360 responden di 12 kabupaten di Indonesia soal minat baca dan literasi digital. Itu yang menjadi penyebab buruknya kesopanan di media sosial. Sebab, dari 61 negara yang disurvei, Indonesia menempati rangking 60 dari bawah dalam hal minat baca.
”Jadi, karena otak kurang wawasan, emosi kurang terkontrol, sempurnalah potret sebab akibat perilaku netizen kita di mata dua lembaga dunia itu,” papar I Nyoman Yoga Segara, saat tampil sebagai pembicara dalam webinar literasi digital: Indonesia Makin Cakap Digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Rembang, Jateng, 5 Juli 2021.
Lebih jauh, Nyoman merinci temuan survei Unesco sebagai lembaga PBB atas buruknya minat baca di Indonesia, khususnya kalangan muda milenia yang akses internetnya bisa hampir 8 jam sehari tapi malas baca literasi yang akuntabel, khususnya buku bermutu. Hanya 2 persen dari responden yang dalam seminggu mau meluangkan baca buku serius sampai 6 jam. Dan, hanya 1 persen yang dalam seminggu membaca habis sampai 1500 hal buku literasi yang akuntabel. Bahkan hanya 14 persen yang meluangkan baca buku 6 kali dalam seminggu.
”Karena malas membaca buku dan literasi, lalu dari mana mereka netizen Indonesia menambah wawasan? Bisa ditebak. Mereka mengandalkan informasi yang sebagian berisiko terpapar hoaks, berita palsu dan berdampak gampang emosi dan menjadi pemicu penebar kebencian di media sosial, karena acuan informasi hanya beragam informasi dari Whats Apps, Facebook dan Instagram dari postingan orang perorang yang kurang kredibel dan di website yang kurang akuntabel.”
”Ini problem, sebab pelaku dunia digital kini populasinya 68 persen dari penduduk warga nyata, atau 202 juta orang dari 274,9 juta populasi penduduk. Memang memprihatinkan, dan butuh kerja kolaboratif banyak pihak untuk memulihkanya,” papar Nyoman agak geram.
Meski geram, Nyoman cukup antusias membahas topik webinar ”Ujaran Kebencian: Konten dan Regulasi yang Berlaku” yang diikuti seratusan peserta. Dipandu oleh moderator Hary Perdana, juga tampil tiga pembicara lain: Taty Aprilyna, Fasilitator Keizen Room yang juga entrepreneur dari Kampung Aridatu Suwoko (editor dan Pemred Beritanews.id Kudus), dan Sigit Rahmanto (jurnalis Radar Jateng) serta key opinion leader Qausar Harta Yudana yang juga artis dan sutradara.
Satu hal, meruaknya banyak tebaran ujaran kebencian di medsos kita membuat banyak kerjaan polisi sibes. Taty Aprilyana mencatat, dari laporan kasus ujaran kebencian di polisi siber kita pada 2020 masuk 443 laporan dan 14 yang berkasnya sudah disidik. Sementara pada 2021, ada 1.448 kasus yang dilaporkan ke polisi, di mana 218 kasus yang sudah disidik dan berkasnya menuju peradilan
”Ini jelas bikin repot polisi. Padahal, selain polisi, kita juga bisa melaporkan kasus hoaks dan ujaran kebencian yang bikin kita ndak nyaman ke Kominfo, dengan membikin screen capture disertai link URL-nya ke aduankonten@mail kominfo.go.id. Dengan masukan laporan itu, Kominfo bisa melakukan tindakan blokir kontennya yang menjadi sumber masalah,” papar Taty.
Aturan regulasi soal ujaran kebencian sebenarnya bisa dibilang cukup. Menurut Taty, baik yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 yang mengatur kebebasan berpendapat, lalu batasan dan ancaman pidana buat pelaku pidana ujaran kebencian di UU ITE No 19 tahun 2019 yang di pasal 6 menyebut sanksi dan pidananya.
Tapi, yang lebih bagus adalah mencegahnya agar kita tidak jadi pelaku dan korban ujaran kebencian itu di medsos. Sigit Rahmanto berujar, zaman sudah berganti. Semua serba digital, dan kuncinya adalah kendalikan jempol atau jarimu sebelum memposting dan sharing suatu konten.
”Endapkan, cek informasinya, bisa lewat aplikasi cekfakta.com yang dibuat Mafindo dan Aliansi Jurnalis Independen. Atau, semua media online kini selalu bikin tools untuk mengecek akurasi beritanya, akuntabel atau hoaks. Jadi, sekali lagi, kendalikan jempolmu agar selamat jejak digital yang menetukan masa depan kita di era digital kini dan nanti,” pungkas Sigit Rahmanto.