Ulises Carbo bersama 1.400 orang lainnya berangkat dengan kapal pengangkut barang (freighter) Houston. Selain berisi seribu lebih para pengungsi asal Cuba yang sudah dilatih kemiliteran di AS, kapal kargo tersebut juga memuat amunisi dan bahan bakar, untuk rendezvous dengan kapal pendarat di Bahla de Cochinos atau the Bay of Pigs. Dini hari 17 April 1961.
Skenario dan eksekusi operasi “membebaskan” Cuba dari komunisme di bawah Fidel Castro disiapkan oleh Kepala CIA Allan Dulles dan Deputi Richard M. Bissell, Mentri Pertahanan Robert McNamara (mantan Presiden Ford Motor Company), pejabat National Security Advisor (NSA) McGeorge Bundy, yang pada usia 34 tahun telah menjadi dekan termuda di Faculty of Art and Science Harvard University, plus beberapa orang penting lainnya di sekitar Presiden John F. Kennedy, termasuk Undersecretary of State Thomas Mann.
Orang-orang hebat dan brilliant di pusat kekuasaan John Kennedy tersebut meyakini, dengan kekuatan udara, naval, dan pasukan pendarat yang terlatih akan mudah mematahkan tentara Cuba di sekitar pantai dan memberikan dorongan kepada massa untuk bangkit melawan Fidel Castro.
Saat itu pemerintahan Fidel Castro baru berusia dua tahun, setelah pada 1959 menggulingkan Presiden Fulgencio Batista. Sebagai Perdana Menteri, Fidel Castro memiliki kekuatan politik dan militer. Mulai 1961 itu pula (sampai 2011) Castro mengesahkan dirinya sebagai First Secretary (Ketua) Communist Party of Cuba.
Pemerintah AS menentang pemerintahan Fidel Castro. Ada upaya-upaya pembunuhan atas dirinya, blokade ekonomi, provokasi gerakan anti-revolusi, dan kemudian invasi ke Bay of Pig.
Sebagaimana kita ketahui, serangan pasukan para pengungsi Cuba yang dilatih dan didukung oleh CIA tersebut berhasil dilumpuhkan oleh 20.000 tentara Castro. Tidak ada itu yang namanya kebangkitan massa melawan Castro seiring datangnya serangan para pengungsi politik asal Cuba. Freighter Houston yang dinaiki Ulises Carbo dan 1.400 orang kawannya sobek lambungnya disambar roket tentara Castro dan dalam upaya penyelamatan akhirnya tenggelam setengah mil dekat pantai. Ulises Carbo dan kawan-kawannya yang selamat, mendarat dalam keadaan kepayahan. Tiga hari kemudian mereka keok, takluk.
Pasukan yang dibiayai AS itu sebagian tertembak mati, sisanya jadi tawanan. Castro menukarkan para tawanan dengan bahan makanan dan obat-obatan dari AS. Selanjutnya Uni Soviet (waktu itu) merangkul Castro dan menempatkan misil nuklirnya di Cuba 1962.
Serangan ke Teluk Babi, disetujui Kepala Staf Gabungan dan Presiden AS, oleh publik Amerika dianggap sebagai kegagalan yang memalukan. Negara sebesar AS (180 juta penduduk) dikalahkan secara hina oleh Cuba, negara dengan tujuh juta penduduk, yang wilayahnya lebih kecil dibandingkan negara bagian Pennsylvania.
Kenapa operasi militer yang dirancang dan dieksekusi oleh orang-orang cemerlang di sekitar Presiden JFK tersebut gagal total?
Di kemudian hari muncul sejumlah testimoni dan terbit pula tulisan-tulisan dan buku hasil penelaahan kembali, investigasi, bagaimana proses pengambilan keputusan dan perilaku kepemimpinan di Gedung Putih dijalankan saat itu.
Beberapa buku terkait orang-orang penting di sekitar JFK antara lain The Best and the Brightest (David Halberstam, 1992) dan yang kemudian lebih menukik ke invasi Teluk Babi adalah The Brilliant Disaster: JFK, Castro, and America’s Doomed Invasion of Cuba’s Bay of Pigs (Jim Rasenberger, 2011).
Menurut Arthur Schlesinger, sejarawan Harvard University yang menjadi penasihat khusus Presiden Kennedy, rapat-rapat penentuan invasi ke Teluk Babi didominasi oleh orang-orang yang intimidating dengan jabatan dan pangkat-pangkat mereka, seperti the Secretary of State, Mentri Pertahanan, direktur CIA, dan tiga Joint Chiefs. Ditambah Deputi CIA Richard M. Bissel, dengan peta, analisis, dan sejumlah langkah yang diusulkannya secara tangkas dan meyakinkan.
Suasana rapat-rapat di Gedung Putih tersebut, dengan segala kecermelangan pikiran dan jabatan mereka, menutup kemungkinan debat dan perbedaan pendapat secara mendalam untuk mengetes ulang asumsi-asumsi yang disodorkan dan tentang kemungkinan adanya kelemahan dalam tindakan.
Presiden Kennedy memang sempat mengecek kembali pendapat para penasihatnya, termasuk kepada Undersecretary of State Thomas Mann, yang sebelumnya sempat mengutarakan secara pribadi kepada Kennedy ketidaksetujuannya pada rencana invasi Teluk Babi. “Mengingat setiap orang sepertinya memberikan dukungan atas rencana itu, akhirnya saya juga bersikap sama,” tutur Thomas Mann di kemudian hari.
“… kepemimpinan berbasis growth mindset, menghargai kemungkinan-kemungkinan baru demi kemajuan dan manfaat bersama.”
Ini catatan Mentri Pertahanan McNamara: “Saya tidak berpikir Secretary of State Dean Rusk dan saya antusias atas rencana tersebut, tapi kami tidak mengungkapkannya dan mengatakan jangan lakukan.”
Pengakuan McGeorge Bundy, penasihat keamanan nasional: “Pekerjaan saya bukanlah memperlihatkan ketidaksepakatan dengan presiden. Begitu dia cenderung setuju, saya dukung dia.”
Arthur Schlesinger sebenarnya sempat beberapa kali kirim memo ke Presiden Kennedy kemungkinan bahaya yang bakal terjadi. Namun pada hari-hari menjelang penentuan invasi, dia juga menyensor ketidaksetujuannya. Ia kemudian hidup dalam penyesalan: “Saya mengecam diri sendiri, dan pedih rasanya, kenapa di saat-saat yang genting di Cabinet Room itu saya diam.”
Proses eksekusi oleh orang-orang hebat di pusat kekuasaan JFK yang berbuah kegagalan yang nista tersebut, merupakan akibat dari perilaku kepemimpinan yang sangat tidak efektif dan cara meeting-meeting yang lebih banyak memperlihatkan arogansi jabatan, bukan keterbukaan sikap. Presiden Kennedy sebagai pemimpin rapat dianggap telah gagal menghidupkan perdebatan sehat.
Presiden kok begitu ya?
Apakah sikap tersebut sebagai harga politik yang harus dibayar JFK, mengingat — menurut sumber lain — rencana invasi ke Cuba konon termasuk yang mesti dia sepakati untuk mendapatkan dukungan menang sebagai Presiden AS? Wallahualam.
Hal yang perlu kita pelajari dari kasus invasi ke Cuba yang membuat Amerika jadi pecundang, mendapatkan pembelajaran sangat getir dan mahal, adalah:
Pertama, meeting-meeting yang berjalan tidak sehat, tidak ada perdebatan dan diskusi mendalam dari perspektif yang lebih bervariasi, sungguh sangat membahayakan. Orang-orang brilliant di zamannya itu tampaknya telah menggadaikan jiwa dan kecerdasan mereka demi jabatan – minimal mereka enggan memperlihatkan berbeda pandangan dengan presiden mereka.
Kedua, orang-orang cerdas dengan jabatan mentereng di pusat kekuasaan tersebut indikasinya terkena wabah, menurut istilah psikolog Dr. Carol Dweck, fixed mindset, perilaku kepemimpinan yang menganggap setiap tindakan dan eksekusi adalah untuk membuktikan diri mereka hebat, maka cenderung menolak perbedaan pendapat yang mereka anggap bisa jadi ancaman. Berbeda dengan perilaku kepemimpinan berbasis growth mindset, yang menghargai kemungkinan-kemungkinan baru demi kemajuan dan manfaat bersama.
Ketiga, arogansi telah membuat mereka, orang-orang hebat di sekitar JFK, mengalami leadership blind spots. Tidak ada satu orang pun dari mereka yang cukup rendah hati untuk melakukan pengecekan ulang ke Desk Cuba di Kementrian Luar Negeri. Padahal Desk Cuba punya catatan, Fidel Castro mendapatkan sokongan signifikan dari rakyatnya. Publik mustahil dibangkitkan untuk memberontak atas provokasi para pengungsi politik yang menyerbu dengan sokongan Amerika itu.
Hari-hari ini masih sering dapat kita temui, organisasi bisnis dan nonprofit di pelbagai negara, termasuk Indonesia, dihantui oleh proses pengambilan keputusan dan kepemimpinan yang belum efektif seperti kejadian di Cabinet Room JFK itu.
Apakah di antara Anda mengenal, atau mengalami, praktik meeting di organisasi yang mirip dengan cara meeting di Cabinet Room Presiden Kennedy untuk invasi ke Cuba? Pejabat senior dan orang-orang pintar cenderung menguasai arena. Bagaimana pimpinan rapat Anda, plus sejumlah tokoh kunci di ruangan tersebut, apakah cenderung pada fixed mindset atau growth mindset, lebih banyak marah-marah atau memberikan dorongan mencari solusi? Apakah di antara Anda selalu mempersiapkan diri dengan lebih seksama untuk setiap meeting, termasuk rendah hati melakukan pengecekan ulang setiap informasi?
Pengembangan kepemimpinan berbasis Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) sesungguhnya membantu organisasi-organisasi agar dijalankan dengan perilaku kepemimpinan lebih efektif. Setiap eksekutif dan leader peserta program MGSCC diajak untuk mengembangkan kompetensi berlandaskan tiga kebajikan (virtues), yaitu courage (keberanian membuka pikiran dan siap menempuh jalan terbaik yang kadang challenging), humility (rendah hati untuk mengakui ketidaksempurnaan dan perlu bantuan), dan discipline (melakukan follow up dengan para stakeholder atas setiap langkah yang diambil).
Ketiga virtues MGSCC tersebut – bahkan satu di antaranya sekalipun — terbukti tidak ada dalam proses meeting-meeting dan eksekusi invasi ke Teluk Bali oleh tim Presiden Kennedy. Mereka lebih banyak bravado (gagah-gagahan, bukan courage), arogan, dan tidak disiplin mengecek ulang setiap asumsi.
Bagaimana proses pengambilan keputusan di organisasi Anda? Siapa di antara kita yang sanggup menanggung malu dan kepedihan sebagaimana dirasakan bangsa Amerika akibat kegagalan invasi ke Teluk Babi Cuba itu, jika kita belum juga memperbaiki diri, meningkatkan kompetensi, dan memimpin dengan lebik efektif?
By Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.