Sukoharjo – Dunia digital yang tidak ada batasnya terkadang memunculkan hal-hal yang merugikan. Salah satunya adalah muncul radikalisme digital. Oleh karena itu perlu ada antisipasi untuk mengatasi itu. Penerapan nilai luhur Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika di ruang digital jadi salah satu solusi.
”Berkat adanya teknologi, akses mendapatkan informasi menjadi terbuka luas. Kita tidak hanya dapat mencari, namun dapat juga menyebarkan informasi dengan mudah. Akan tetapi, kita tidak boleh melupakan aspek etika dalam berdigital, di mana kita memiliki tanggung jawab moral dalam pengunaan informasi,” jelas Ahmad Faridi ketika menjadi narasumber pada webinar literasi digital yang digelar Kementerian Kominfo untuk masyarakat Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (13/08/2021).
Dalam webinar bertema ”Antisipasi Radikalisme Digital” itu, Faridi mengungkapkan, tanggung jawab moral ini harus berdasar pada nilai respek atau penghargaan terhadap harkat-martabat dan hak asasi manusia. Karena, menurutnya, secara prinsip, teknologi digital adalah alat bantu bagi komunikasi manusia. Selain itu, cara kita menggunakan teknologi bisa memengaruhi nasib kita atau nasib orang lain. Dan yang harus kita utamakan adalah sejauh mana teknologi digital bermanfaat bagi manusia.
“Penghargaan pada diri sendiri akan menjaga kepentingan kita di dunia digital dan tidak meninggalkan jejak digital yang negatif. Sedangkan penghargaan pada orang lain dengan cara tidak menyebarkan konten negatif, tidak menyebarkan berita hoaks, dan tidak menyebarkan foto kekerasan, korban kecelakan dan lain sebagainya,” jelas Sub Koordinator Perencanaan Data Informasi Kanwil Kemenag Provinsi Jateng ini.
Penghargaan ini termasuk juga dalam menjauhkan diri dari radikalisme dalam dunia digital. Yang berasal dari kecemasan, ketamakan, kebencian, dan penghinaan. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Iwan Gunawan, narasumber lain dalam webinar itu.
Sementara itu, Joko Priyono, narasumber lain, menjelaskan dalam menggunakan teknologi digital bisa menggunakan komptensi keamanan digital yang terbagi dalam tiga aspek. Yakni, kognitif, afektif, dan psikomotorik.
“Dunia digital semestinya dimanfaatkan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan membagikan berita dan informasi positif, sayangnya tak dapat dimungkiri ada kelompok tertentu dengan sengaja membuat dan menyebarkan informasi yang palsu dan tidak jarang mengarah ke tindakan radikalisme dan ekstrimisme,” jelas Joko.
Pegiat literasi ini memaparkan, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruhan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Melalui PP No 77 Tahun 2019 Pasal 23 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme, lanjutnya, dijelaskan bahwa literasi digital merupakan bagian dari kontra radikalisasi yang memerlukan peran serta semua pihak.
“Dalam mengantisipasi radikalisme dalam dunia digital bisa dilakukan dengan beberapa cara. Yakni selalu cek sumber media atau situs yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, cek keakuratan informasi dari berbagai media. Begitu pula menerapkan sikap yang cakap dalam bersosialisasi dengan menerapakan nilai luhur Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan di mana pun berada,” jelas seorang yang didapuk sebagai Fasilitator Gerakan Literasi Jateng ini.
Dipandu oleh Dwiky Nara (entertainer) sebagai moderator, webinar ini juga menghadirkan Maria Harfanti (Miss Indonesia 2015- Host TV dan Aktivis) sebagai Key Opinion Leader, Endi Haryono (Dosen Hubungan internasional dan Dekan Fakultas Humaniora President University}, dan Sopril Amir (Program Koordinator di Tempo Institute) sebagai narasumber. (*)