Ujaran kebencian disebut-sebut sebagai salah satu konten negatif yang kerap ditemukan di internet, khususnya di media sosial. Hal ini cukup memprihatinkan karena menyumbang predikat tidak sopan terhadap warganet Indonesia se-Asia Pasifik. Melihat kondisi ini kecakapan literasi digital mestinya dimiliki agar dapat menciptakan arus positif di ruang digital.
Pemerintah sendiri telah membuat program literasi digital untuk mengakselerasi kecakapan masyarakat dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) digelarlah webinar untuk masyarakat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, dengan tema “Melawan Ujaran Kebencian di Dunia Maya”, Kamis (12/8/2021).
Bersama moderator Zacky Ahmad (entertainer), diskusi virtual diisi oleh empat pemateri: Aditia Purnomo (direktur penerbit buku Mojok), Fakhriy Dinansyah (Co-founder Localin), Panut (Kepala Kantor Kemenag Kebumen), dan Farid Mustofa (dosen UGM). Selain itu hadir Novelia Gibson (content creator) sebagai key opinion leader. Masing-masing narasumber menyampaikan tema diskusi dari sudut pandang empat pilar literasi digital yaitu digital culture, digital skill, digital ethics, dan digital safety.
Farid Mustofa melihat realita di dunia digital cukup memprihatinkan jika ditilik dari sisi negatifnya. Isu yang menimbulkan ujaran kebencian kerap ditemukan di media sosial. Ia mencontohkan kasus pemilik akun Facebook Gusti Sikumbang yang mengunggah meme SARA bernada kebencian terhadap Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Pada meme tersebut ia meminta pribumi merapatkan barisan dan menyebut Hadi diangkat sebagai panglima TNI beristri perempuan Tionghoa. Padahal menurut keterangan Hadi, istrinya tidak punya keturunan Tionghoa. Pada akhirnya konten itu dianggap mengandung ujaran kebencian terhadap suatu golongan dan karena tidak terbukti tuduhan itu disebut sebagai fitnah.
Farid menyebutkan, dari kasus tersebut, ujaran kebencian sangat dekat dengan hoaks. Hoaks yaitu berita bohong yang tujuannya untuk kesenangan hingga fitnah. Dampaknya bisa merugikan satu pihak atau kelompok tertentu, membentuk opini salah, memecah belah, memberikan reputasi buruk, dan fitnah.
“Hoaks berujung ujaran kebencian yang disebarkan secara langsung dari mulut ke mulut maupun melalui media sosial, yang ketika berlangsung secara terus menerus berdampak pada kehidupan sosial. Salah satunya rasa tidak percaya pada seseorang atau kelompok lain. Ketidakpercayaan tersebut membuat kita lupa atau tidak berpikir untuk memverifikasi langsung dengan bertanya kepada orang yang bersangkutan. Akibatnya memunculkan prasangka negatif ke orang yang bersangkutan hingga melontarkan ujaran kebencian,” jelas Farid yang merupakan dosen filsafat.
Dampak yang ditimbulkan hoaks bisa cukup masif, apalagi jika disebarkan lewat media sosial. Maka cara menangkal agar tidak termakan berita bohong adalah dengan mengenali bentuk atau ciri narasi hoaks. Ciri paling jelas berita hoaks adalah isinya yang provokatif, judul sensasional, menuding langsung ke pihak tertentu. Isinya bisa diambil dari media berita resmi tapi diubah-ubah isinya agar menimbulkan dampak yang dikehendaki.
“Selain dari isi, alamat situs yang digunakan bisa dikenali. Biasanya dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi, misalnya menggunakan blog sehingga informasinya bisa dibilang meragukan. Lalu, periksa narasi berita berdasarkan fakta dan opini, juga perhatikan siapa penulis atau sumbernya, apakah institusi resmi atau bukan, dan perhatikan keseimbangan sumber berita untuk mendapatkan gambaran yang utuh,” terangnya.
Memeriksa suatu informasi hoaks atau tidak bisa dilakukan dengan mengecek keaslian foto dengan memanfaatkan fitur Google images, karena foto bisa saja dimanipulasi. Serta, cek selalu kebenaran berita melalui kanal-kanal yang sudah disediakan.
Jika ditelisik lebih lanjut, penyebaran hoaks seperti tidak ada putus dan redanya. Hal ini disebabkan minimnya program literasi media digital kepada masyarakat. Literasi digital penting untuk memberikan kesadaran tentang konten apa saja yang berpotensi melanggar hukum dan tidak. Bahkan dalam kasus ujaran kebencian yang disebut di atas, pemilik akun Facebook yang ternyata berprofesi sebagai dokter, yang artinya cukup berpendidikan, tidak menjamin ia memahami delik pencemaran nama baik dan ujaran kebencian bernuansa SARA.
Sementara itu Panut, dalam perspektif budaya digital, menyampaikan perkembangan teknologi dan internet tidak hanya memberi pengaruh positif tetapi juga negatif.
Dampak positif teknologi digital dapat mempermudah komunikasi jarak jauh yang sangat berguna, khususnya saat pandemi Covid-19. Mencari dan melihat informasi bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun. Berinteraksi sosial juga menjadi mudah, bahkan bisa dilakukan secara tatap muka virtual. Lebih luasnya, teknologi mempermudah dan memperlancar segala urusan.
Namun efek negatif perkembangan teknologi, khususnya generasi muda yang mendominasi penggunaannya, membuat generasi muda cenderung meninggalkan budaya. Menuntut ilmu agama yang dulu langsung ke majelis kini dilakukan dengan Google.
Nilai-nilai yang diajarkan di dunia nyata juga luntur, termasuk dalam hal berbahasa. Generasi muda tidak bisa membedakan etika saat berbahasa dengan orang yang lebih tua. Kawula muda, menurut Panut, juga memiliki minat kecil untuk melestarikan budaya.
“Generasi muda yang sudah fokus dengan gadget telah mempengaruhi pola pikir. Maka ini menjadi perhatian semua orang, terutama peran orang tua untuk bisa menjadi kontrol terhadap anak. Kita harus mendukung perkembangan anak dengan growth mindset agar lebih positif. Menjadikan gadget dan internet sebagai sarana pendukung bukan hal utama dalam kehidupan,” jelas Panut kepada 200-an peserta diskusi.
Menurut Panut, ada tiga aspek penting untuk membangun budaya digital. Yaitu melalui partisipasi, bagaimana masyarakat memberikan kontribusi untuk tujuan bersama. Remediasi, bagaimana mengubah budaya lama ke budaya baru yang lebih bermanfaat. Serta bricolage atau memanfaatkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya untuk membentuk hal baru. (*)